Senin, 01 Desember 2008

Kontestasi isu 2009

Isu dan Profit terselubung
Fenomena tarik menarik, giring-menggiring perhatian public melalui isu-isu strategis terus mengalir dengan derasnya dipanggung politik melalui media masa kita. Dimulai dengan isu-isu global berkenaan dengan isu global warming dengan peta perubahan iklim dunia lengkap dengan contoh-contoh utuh multi bencana yang sudah, sedang dan akan dihadapi masyarakat global (Tsunami, banjir, longsor, gempa bumi, eskalasi suhu bumi, gagal panen dan apa lagi nantinya?) .Fenomena ini kemudian dikonstruksikan dengan gairah tinggi oleh masing-masing aktor atau sutradaranya secara sadar guna membangun opini publik demi “profit sustainability terselubung.”
Fenomena isu, baik pada tingkatan global maupun mengerucut pada tingkatan Nasional, disiasati oleh “aksi-aksi dadakan” untuk menangguk keuntungan berdimensi jangka pendek maupun jangka panjang. Pada tataran ini dimulailah kegiatan “memexture isu-isu tersebut(pencampuran)” menjadi sebuah produk jadian baru mempolitisir Isu untuk mempertinggi nilai “bargaining” personal (individu, kelompok,partai). Dalam kontek kepentingan elite, berkembang prinsip apapun ramuan “isu-isu” sejauh dapat tampil dan tetap menjadi “Grand story” di media masa pantas menjadi instrument “pengayaan citra diri” jelang kontestasi politik 2009.
Dua contoh Politisasi isu
Ramuan Isu krisis pangan dengan kepedulian Nurani politisi mulai disandingkan dengan apik melalui aksi ‘sekali lahap’ nasi aking , bukan aksi permanen yang berdurasi, seminggu, sebulan atau memasuki hitungan tahun. Harapan pemunculan “symbol kepedulian ini” sesungguhnya kalah tanding dengan aksi dramatis kelompok pendemo yang berani menggelar aksi kepedulian resiko tingkat tinggi dengan “aksi mogok makan.” Sayangnya,pada tataran realitas sosial politik, efek demo mogok makan justru tidak populer dan cenderung kalah dengan aksi nasi akingnya politisi. Tentu logika sebabnya dapat dijelaskan dengan mudah. Kegagalan demo mogok makan karena ditujukan kepada gugatan “eksistensi penguasa dan kekuasaan”, sedangkan demo nasi akingan politisi diarahkan pada “eksistensi jelata dan hal dikuasai”
Dalam arena tarung eksekutif dan legislatif telah terlewati sebuah drama kontestasi kedigdayaan Institusi atau komunitas politik yang mengisi institusi baik eksekutif dan legislatif. Prilaku politik legislatif pada masa kini eksistensinya terbaca secara samar, apakah sebagai institusi pengemban kehendak rakyat an sich atau institusi pengemban kehendak “rakyat terbatas (Representasi partai politik).” Pada sisi lain aksi kontestasi kedigdayaan legislatif terhadap eksekutif dikemas dengan sadar untuk menyarikan “kesan keberpihakan” legislatif terhadap….., terhadap siapa yach? Hal ini agak sulit untuk dipetakan, mungkin hal keberpihakan legislatif tidak memiliki benang merah keberpihakan. Dugaan hilangnya benang merah keberpihakan lembaga Legislatif dapat bersumber dari kesadaran untuk me-rekapitalisasi peran strategis partai politik yang merasa ‘”ke-esaan dayanya” telah digerus oleh sistem pemilu yang menggeser lampu sorot “kekuasaan” pada sosok “eksekutif” pilihan rakyat non institusi. Sehingga rancangan produk finalnya adalah terbangunnya simbol-simbol peringatan dini masing-masing kepada Sosok eksekutif untuk tidak besar kepala terhadap momentum eforia kemerdekaan pilih langsung; juga kepada masyarakat bahwa mengabaikan peran penting (distrust ) kepada institusi politik legeslatif bukanlah tindakan yang tepat. Jadi penolakan legeslatif, misalnya, terhadap penetapan 2 calon Gubernur BI sebelumnya dan peneriman calon tunggal Prof.Dr. Budiono atas ajuan Eksekutif (Presiden) baru-baru ini, dikemaskan sebagai Isu strategis guna menegaskan kembali kekuatan politik legeslatif di pentas percaturan politik Indonesia pasca mekanisme pilih langsung sosok “eksekutif.”
Rasionalitas Isu dan tantangan rekomendasi dini
Siapapun, pada level kepentingan apapun dapat melakukan pembelaan diri dengan rumusan pola pikir dan tindak yang dirasionalkan sebagai pribadi atau institusi pembela hak-hak dasar rakyat, namun patut untuk menyadarkan diri bahwa bangsa Ini telah kenyang dengan “Politisasi Isu” yang kerap bermuara pada pengingkaran, Masyarakat sudah dikenyangkan Fenomena Ingkar. Budaya Ingkar harus didekonstruksi. Budaya mempolitisasi Isu secara retorik harus dibongkar tuntas.
Di pentas kontestasi politik”Indonesia memilih” 2009 nanti, Konstituen harus dicerdaskan untuk memilih “personal” yang bukan hanya memiliki jam terbang politik tinggi, namun personal yang memiliki “jam kerja sosial” tinggi dengan jejak indikator prestasi problem solver yang dapat dibaca secara jelas. Bukan pribadi pemberi kesan kepedulian simbolik. Penguasa dan kekuasaan yang dikontruksikan sebatas simbol, patut kita jadikan isu strategis untuk mengkoreksi dan memproteksi empati personal sedini mungkin jelang kontestasi kekuasaan 2009. Di pentas persiapan kontestasi 2009 hendaknya kiblat pertarungannya tidak diawali dengan mempolitisasi isu-isu strategis secara simbolik, namun diawali dengan kampanye Isu-isu strategis berbasiskan pada produk real analisis isu-isu kebijakan lengkap dengan rekomendasi yang terdokumenkan dan tersosialisasikan kepada masyarakat atau konstituen. Setidaknya isu tantangan kekiniannya ada pada level berantai “Krisis lingkungan Hidup, krisis pangan,krisis kesehatan,dll merupakan potret sejati terkandungnya Krisis Politik.”

Bartholomius Padatu
Mahasiswa pascasarjanaS2 Fisipol.Program studi Administrasi Negara UGM

Kanibalitas Konstitusi pemilu 2009

“Jeruk kok makan jeruk?” demikianlah cuplikan sebuah produk kreatif innovative periklanan media Tv kita yang menggugat moral “kanibalitas” sosok jeruk yang dihidupkan sebagai sebuah pribadi yang menggerogoti dirinya sendiri.

Fenomena jeruk makan jeruk dalam realitas perpolitikan Indonesia berhadapan langsung dengan evidence (fakta) yang melahirkan deretan aksi menanyai rasionalitas esensi perpolitikan kita. Dari mana logika pertanggungjawaban dapat dibangun dari suatu debat panjang interprestasi acuan pelaksanaan pemilu yang seolah-olah mendapat legitimasi “konstitusi”?, namun senyatanya telah ditegak benarkan kekeliruannya oleh Mahkamah Konstitusi.

“Menang Tanpa Tarung”

Problem peta politik kita telah menerjang retasan jalan baru yang teramat keliru. Perjalanan yang ditempuh dengan mengabaikan relitas kemenangan Konstitusi putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan gugatan terhadap keberadaan 9 partai “ anak emas” . Skema tanding partai politik telah bergeser menyerupai skema-skema pertandingan di segmen Olah Raga yang memungkinkan salah satu atau lebih kontestan menang tanpa harus bertanding, bahkan kalah dan dapat tanding ulang.

Kanibalitas Konstitusi

Carut marutnya pemberlakuan konstitusi di Negara kita mengundang suatu wacana baru sebuah “Negara Indonesia Baru”dengan back up konstitusi diluar UUD 45, yang membelakangi “Negara Indonesia Asli”dengan dihidupi oleh aliran nafas dan darah UUD 45. Fenomena tersebut dapat saja berbuahkan ajang baru hadirnya sebuah panggung kontestasi produk-produk konstitusi di Negara Indonesia. Di panggung inilah aksi tarung antara UUD 1945, dengan UU No 10/2008(khususnya pemaknaan dan pemakaian pasal 316 huruf d ) , bahkan bisa saja dengan munculnya produk tandingan konstitusi seperti Perpu (ekspektasi jalan keluar/lihat.Kompas 17/7.Denny Indrayana) yang akan menjadi jembatan penghubung atau semacam instrument pencair kebuntuan kontestasi UUD 1945 dan UU No 10/2008. Pada tataran kontestasi konstitusi ini sesungguhnya realitas “politik Horor baru telah menjelma” yakni fenomena “kanibalitas Konstitusi”. Dimana Jeruk (konstitusi) makan atau menelan Jeruk lainnya(Konstitusi).Kanibalitas Konstitusi ini dapat pula dimaknai dimana sebuah produk konstitusi dapat membunuh kekuatan pemberlakuan substansi konstitusi lainnya. Tidak dapat dibayangkan jika proses melahirkan pemimpin dan hal kepemimpinan dilahirkan melalui mekanisme yang semenakutkan demikian, dapatkah kita menemukan seorang pemimpin dan mekanisme kepemimpinan yang terhindar dari praktek “kanibalitas konstitusi yang juga kanibalitas politik pemilu 2009”. Hal seperti ini jika dibiarkan dan diloloskan dalam periode pemilu 2009, eksesnya dapat meng-anakrantaikan fenomena kanibalitas yang dapat bermutasi pada ragam kanibalitas lainnya. Salah-salah eksistensi Rakyat sebagai pemilik sah dari kedaulatan Negara, politik, hukum, dll, tuntaskan atau diakhiri oleh aktivitas Kanibalitas yang mengerikan. Hak-hak “Emas” Rakyat sebagai individu dilahap tuntas. Ekspektasi kita tentunya berujung pada terminasi aksi menghentikan dinamika “kanibalitas konstitusi” yang jika kita lengah dapat saja mengkristal menjadi “isme” yang langgeng, tidak lekang oleh keresahan social , hukum, politik kita. Tentunya pada tingkatan “isme” kanibalitas sangat kita haramkan.

Jalan Salah Arah

Bergulirnya proses kontestasi partai pemilu tanpa resah dan gelisah dengan produk Mahkamah Konstitusi telah membuka suatu alur tapakan baru menuju Indonesia yang salah Arah. Bagaimanapun juga KPU sebagai Institusi Negara penyelenggara Pemilu 2009, telah menekan tombol start menuju perjalanan ke “Indonesia salah arah”. Indonesia yang sedang kita design (rancang-bangun)melalui bentukan mekanisme Pemilu 2009 kini telah berjalan dalam “Problem of wrong direction”(problem salah arah).Urgensi kesalaharahan tersebut dapat berimplikasi pada “Terminasi yang keliru” dari perjalanan didirikannya sebuah Negara berhadapan dengan eksistensi “Rakyat” sebagai Tuan atas Negaranya. Betapapun pemilu 2009 ini menggunakan mekanisme yang canggih, diramaikan oleh ragam partai, kekayaan misi dan visi, dibiayai dengan cost yang teramat Mahal, Besarnya potensi Intelektual politikus, kuatnya sumbangsih ideologi kesejahteraan, semuanya akan berakhir pada sesuatu yang “salah”. Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah, menyadari bahwa Pemilu 2009 telah berjalan dijalan yang salah arah, selanjutnya segera memutuskan dengan segala keberanian, keyakinan, segera berbalik arak ke titik start semula (amanah konstitusi UUD 1945) walaupun Indonesia harus membayar mahal kekeliruan tersebut. “Balik segera atau Indonesia Binasa”. Jika pemilu 2009 Indonesia memaksa melangkah terus tanpa mengindahkan sinyal-sinyal bahaya yang telah banyak ditangkap dan diisyaratkan oleh masyarakat Indonesia dari segala lapisan, bersiap-siaplah menjumpai benturan-benturan baru yang harga pertaruhannya tentu besar dan tidak dapat kita kalkulasi sekarang. Selamat Mengambil keputusan, kita belum terlambat! Indonesia yang Berbenah adalah “Indonesia Bisa(dapat) bukan Indonesia Bisa(beracun) atau Indonesia bias”.Semoga Pemilu 2009 kembali kepada pengakuan eksistensi UUD 1945 sebagai jiwa, roh dari Indonesia Raya yang sejati.

Bartholomius Padatu

Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Negara Fisipol UGM