Selasa, 20 Januari 2009

Masa Depan Negara dalam aras Kebijakan “populis” RI number 1

Masa Depan Negara dalam aras Kebijakan “populis” RI number 1
By BL Padatu

Campur baur opini yang saling menggugat rentetan gelontoran kebijakan orang nomer satu di republic Indonesia menjadi hiruk pikuknya jalan raya politik Indonesia dikekinian menjadi tampilan parade bongkar pasang “image Indonesia” pasca suksesi kepemimpinan kali berikut. Maraknya opini tanding yang terkadang pesimis, optimis,super ambisius, rasa biasa-biasa saja berebut ruang plotot public guna menginkubasikan simpati suksesi kepemimpinan 2009. Indonesia akan memilih pigur-pigur yang berhasil mematangkan simpati public yang dibingkai oleh banyak suara-suara lelah, pekik kebebasan kemelaratan yang alot menafasi kaum-kaum marginal, mereka yang terpinggirkan dari gagahnya sebuah idealism Pembangunan di Bumi yang mahakaya raya bernama Indonesia.
Masa inkubasi simpati public telah mulai dibidik dalam desain “kebijakan populis” guna pemenangan masa depan “multi interest” berwajah tunggal “Rakyat Indonesia”. Bersoal jawab menyangkut arah kepentingan pada gilirannya secara otomatis membangun panggung konfik wacana apresiasi atau sebaliknya cibiran manis rival-rival politik. Desain “kebijakan populis” seperti penurunan harga minyak di Indonesia oleh banyak pengamat merupakan sebatas copy faste atau kebijakan yang linear atau garis lurus. Artinya sesuatu yang dianggap wajar, normal, sudah seharusnya dan tidak terkait dengan citra “kehebatan” seorang pemimpim.
Sudah tentu peta opini terhadap fenomena “rentet tiga” penurunan BBM dengan outcome potret masyarakat yang terapresiasi secara positif, mejadi bingkai yang menarik untuk saling dikorek-korek dan dikritisi. Orang boleh dan sah secara nurani untuk memberi nilai terhadap kebijakan pemerintah dengan penurunan harga Minyak Nasional, apakah dengan output rapor merah atau biru. Apakah sebuah produk kebijakan yang “populis”, “kebijakan ambang suksesi”, “kebijakan Dongkrak” “kebijakan aji mumpung”, kebijakan ajian”, “Kebijakan kosmetik” dan ect.
Dalam Logika politik atau alur berpolitik, model-model label kebijakan dapat saja disebarluaskan dengan multi penamaan dan ragam nilai. Bagi SBY sendiri, saya kira, soalnya apakah kebijakan yang ia tetapkan apakah akan mendapat serbuan” label-label Horor”, atau “label-label Honour” bukanlah fondasi pengambilan kebijakan. Sense of motoric sebagai pemimpin penentu masa depan rakyat Indonesia tentunya menjadi daya gerak, daya dorong dan daya tindak, bahkan sudah merupakan kemampuan reflex seorang pemimpin yang sensitive dalam visi penyelamatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kafilah akan menderap langkah pada arah kemauan walaupun barisan “gonggongan” gencar menarik mundur.
Belahan peta opini antara pro dan kontra terhadap “kebijakan” pemimpin RI 1 (khususnya dalam kebijakan Minyak Nasional) merupakan dua wajah yang saling menempati sebagai ide pembanding yang harus terus melekat, saling tarik menarik dalam wacana bebas dan demokratis untuk saling mewujutnya sesautu yang paling dianggap benar dan harus dilakukan. Bagi SBY apapun kesan, pesan reaktif terhadap multi kebijakan migasnya merupakan Bunga demokrasi yang bisa saja menjadi tanda penghormatan terakhir terhadap masa depan kepemimpinannya kali berikut, tetapi bisa merupakan “Bunga/ keharuman” keberanian dan bijaknya sang Presiden dalam mengambil langkah yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan cara yang cermat, cerdas dan akan menimbulkan keinginan mengulang untuk mencium “Keharuman” visi dan misi kepemimpinan berikutnya.
Apakah kebijakan itu polulis, atau apapun namanya, bukan soal, Sejauh kebijakan tersebuat membuahkan “Kesejahteraan” dalam kapasitas atau volume seberapapun, kebijakan tersebut tetap layak untuk dirumuskan, diputuskan, dan dikerjakan, tetapi tetap harus dievaluasi.
Tanah Grogot 21 Januari 2009, My sweet home.