Senin, 16 Februari 2009

Peti Mati “Demo” untuk Demokrasi INDONESIA
By BL Padatu
Realitas demokrasi ataukah Insiden demokrasi?
Sampai hari ini publik tidak pernah dapat menjangkau rancang bangun sesungguhnya dari usungan “Peti Mati” kedalam ruang sidang DPR Sumatera Utara yang berakibat pada terjualnya peti mati tersebut dengan Bayaran super mahal yakni “Nyawa pahlawan Demokrasi “(Ketua DPR Sumatera Utara),apakah “Peti mati” tersebut sebatas sebuah “Simbol” penguat karakter Demo atau sebuah ancaman real jika “argumentasi Pemekaran propensi tapanuli” tidak teraminkan.
Kitapun tidak dapat secara dini mengerti apakan insiden tersebut merupakan “Blunder Demokrasi”sebuah unsur ketidaksengajaan, peristiwa tanpa settingan yang tidak dirancang secara sadar dan sistematis atau merupakan “Realitas demokrasi” murni, potret kekinian dari sebuah perjalanan pematangan berdemokrasi di Indonesia (hal ini merupakan domain Hukum).
Demo atas nama Demokrasi !
Ketika founding father (Soekarno&Hatta,dll) melegitimasikan hak berdirinya “Indonesia Merdeka”, beliau memateraikan realitas tersebut dengan landasan kokoh yang me-ruh “atas nama Bangsa Indonesia” sebuah refresentasi komprehensif dari totalitas “Angka kebangsaan “(baca: kuantitas penduduk indonesia)menjadi “Nilai kebangsaan” yang menggema dari “yang awal” dan “ yang Akhir”. Maknanya adalah dari manapun kita memulai sebuah perjuangan maka haruslah diawali dengan kesadaran kepentingan “Kebangsaan” dan berakhir pada “profit kebangsaan”
Demo sebagai sebuah instrument reformis dalam memediai semesta aspirasi sesungguhnya merupakan trend positif, dimana ruang public di-isi secara kreatif, lebih luas, dan memiliki efek pressure yang kuat. Demo dalam konteks apapun merupakan varian implementasi dari rancang bangun sebuah konstruk public yang mendesak untuk diberi bentuk. Publik menjadikan demo sebagai ruang sidang terbuka, ruang yang mengikat aspirasi, perhatian, dan control melekat public yang memungkinkan agenda perjuangan mereka memiliki peluang lebih besar untuk mewujud.
Dinamika perjuangan aspiratif melalui “Demo” siapapun pelakunya sungguh merupakan mata kegiatan social politik yang dibenarkan bahkan dianjurkan dengan pola pelaksanaan yang etik. Pola pelaksanaan yang mengedepankan kesantunan social-relegius.Demo yang Demokratis idealnya merupakan shownya Integritas moral, integritas keluruhan budi pekerti yang dibela dengan tingkat kedisiplinan tinggi. Bukan sebuah Demo kesintingan atau ketidakwarasan perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan “Bukan penjajah” (DPR,dll). Wajah demo serupa “orang kesurupan” demo yang tidak dijiwai oleh “idealism”yang waras.
Demokrasi bukalah sebuah Parodi; ia tidak dapat diparodikan; demokrasi adalah implementasi substansial dari “spirit for together”, spirit untuk menang bersama, nikmat bersama, kokoh bersama. Demokrasi bukanlah sebuah “konsep Zero-sum” sebuah kondisi yang memberdayakan pihak tertentu dan dalam waktu bersamaan mengempiskan kekuatan hidup lainnya
Demokrasi merupakan konsep tunggal yang final dalam mengibarkan bendera-bendera kesamaan hak dan kewajiban dalam perlakuan keseharian sebagai anak bangsa yang Berjaya.
Demokrasi membawa Negara memiliki “penglihatan” penghuninya dengan Kartu tanda pengenal yang bernama “Rakyat”, sebuah konsep yang final, tidak perlu di debat kembali dalam agenda menidentifikasi rincian“rakyat” dengan label-label superioritas “Putra Daerah”, “Berdarah biru”, dll. Identitas “Kerakyatan” sebagai sebuah identitas final merupakan hal ‘undebatable’. Demokrasi tidak memberikan kita space atau ruang untuk berlama-lama memelototi dengan” kaca mata analisis Kuda” yang mengabaikan eksistensi persfekttif lainnya.Demokrasi tidak dimaksudkan mengokohkan pilar-pilar pembangunan anasir-anasir tertentu dalam masyarakat.Demokrasi bukanlah instrument tape player yang memutar “lagu kebangsaan” satu-satunya untuk etnik tertentu.
Demokrasi dengan asas poliferasi (pemekaran), idealnya memekarkan ranah kesejahteraan yang makin real bagi banyak orang.bukan melebarkan domain kesengsaraan. Demokrasi tidak boleh menjadi peristiwa“insidentil” yang dibiarkan sebagai sebuah” kewajaran destruktif” ataupun “ironi bunga demokrasi.Demokrasi merupakan the last ideology (francis fukuyama), tetapi bukan ideology yang mengakhiri hajat hidup orang, kelompok, masyarakat tertentu. Sebagi sebuah ideology yang ditawarkan, demokrasi merupakan akhir dari “Ribut-ributnya” debat dan perang klaim eklusivitas (atau isme). Demokrasi merupakan “Instrumen ajeg” yang menunjukkan kesejatian manusia dihadapan sesamanya. Demokrasi menjadi sebuah cermin yang menghadapkan seseorang dengan sesamanya layaknya perhadapan dengan dirinya sendiri; butuh disapa dengan persahabatan, butuh bersimbiosis secara mutualis (saling menghidupkan).
Demokrasi merupakan alur kerakyatan yang sirkularis yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Paradigma sirkularis ini seyogyanya merupakan alur logis, sebuah rel perjuangan yang tetap berproses dari keinginan “Rakyat” banyak, dilakukan secara bersama, dan memperoleh keuntungan yang sama pada rakyat itu sendiri. Demokrasi bukanlah “Mr.Win-lose”. Jalannya demokrasi yang mengamputasi salah satu item Paradigma sirkularis tersebut bukanlah substansi demokrasi sejati.Presure fisik, psikis, bukanlah cara cerdas mempromosikan agenda “idealism yang diperjuangkan. Sesuatu yang benar namun diperjuangkan dengan cara yang keliru menghasilkan dua item yang tidak dapat menyatu yakni “benar dan salah”. Dimensi eksternalitasnya menjadi jelas yakni output dari “benar dan salah” adalah “unproduk”(ketiadaannya produk), sebuah idealism “benar” yang tidak mendapat bentuk baru, sebuah “struggle unsurvive” (sebuah perjuangan berusia pendek)
Demokrasi yang tidak “cerdas” hanya menjadi sebuah “cangkul kematian” yang menyia-nyiakan potensi “emas” kehidupan kenegaraan. Sebuah aktivitas kolektif yang destruktif dari aksi demokrasi hanya akan menambal lebel “deficit” pada kata demokrasi. Sebuah kerugian yang harus ditanggung “Rakyat an sich” dimana cost demokrasi tidak seimbang dengan asfek kemanfaatan.
Demo dinegara yang demokratis bukanlah demo yang menempatkan sosok tertentu sebagai “Rival atau enemy” demikian pula tidak boleh berakhir dengan “Korban”. Demo yang senantiasa menderetkan Korban-korban merupakan sebuah aksi yang hanya mengusung peti kematian bagi “Demokrasi di Indonesia.” Pada tataran ini sesungguhnya gerakan “Demo” tunduk pada asas sadar dini (tobat), sadar proses (berobat). Setidaknya demo-demo yang memakan korban harus berakhir. Peti mati yang terlanjur diusung harus dikubur, dan diisi dengan “idealism-idealisme destruktif” sehingga wacana demokrasi di Bumi Indonesia raya tetap berjalan terus melintas batas dan mencerabuti akar-akar kemiskinan rakyat.

Salam demokrasi. Tanah Grogot 16/2/09