Jumat, 15 Mei 2009

Harmonisasi Nasional sebuah agenda kemendesakan.

By BL Padatu


Berbagai kekacauan sporadis yang ditimbulkan pasca pemilu legeslatif membuat kita terperangah, bingung dan berujung pada bergulirnya secara pasti segala bentuk kecemasan dan tanda Tanya besar bagaimana perjalanan dinamika pembangunan Indonesia pasca pemilu 2009?
Fenomena kekacauan tersebut lagi-lagi sulit untuk dapat dipetakan. Kemelut politik yang berakar pada saling menyalahkan, saling serang, saling ancam suka-atau tidak, telah mewujud menjadi up datenya realitas Indonesia hari ini. Susul menyusul laporan investor pemilu memenuhi buku-buku pencatat varian kisruhnya pemilu legeslatif kali ini.
Dimanakah substansi telaah kesejatian yang telah disuarajanjikan oleh petarung tahta rakyat (seluruh komunitas pemangku kepentingan) bahwa keterlibatan berdemokrasi dalam wacana demokrasi merupakan sebuah tindakan bijak. Dentang gong dimulainya “Pesta demokrasi”telah ditabuh beramai-ramai, sayangnya “Pesta demograzy” menyabotase system demokrasi yang hendak dibangun secara santun penuh bermartabat.
Irasional sikap telah dipertontonkan secara menyedihkan. Marah, ancam, tuduhan, makian bahkan darah manusia telah menjadi minyak pelumas demokrasi. Siapakah yang salah? Tentu tidak bijak untuk mencari jawab. Siapakah yang benar? Ini merupakan jenis pertanyaan ke dua yang tidak perlu dicarikan jawabannya? Bagaimana meretas jalan tengah, jalan pembebasan dari ancaman pencideraan kehidupan kenegaran merupakan rumusan pertanyan yang patut ditautkan kebenak dan nurani bangsa ini. Semua sumber daya manusia Indonesia harus bersegera membujuk dan mendesak diri masing-masing, atas nama pribadi, kelompok dan golongan mengikatkan bendera merah putih yang jelas garis pemisahnya manakah warna merah dan manakah warna putih. Mana keberanian dan kesucian. Tidak boleh warna merah pada bendera kita berpencaran menoktah warna putih. Pemilu tidak boleh menoktah falsapah “Merah” yang berarti Berani menjadi “merah” yang berarti darah(baca: pertikaian). Begitu pula “Putih” yang merupakan moral kesucian menjadi “ putih” yang berarti hilangnya, kaburnya jati diri sebagai bangsa.
Pemilu Presiden 2009 tinggal sejengkal. Fakta chaosnya pemilu legislative telah menjadi tool pengukur atau penjengkal. Kualitas penyelenggaraan Pemilu legelatif menjadi penjengkal masa depan kehidupan kenegaraan kita. Kini Kearifan investor-investor demokrasi menjadi harapan yang dinantikan. Kearifan tersebut bukanlah sebentuk pena yang diguratkan diatas permukaan loh-loh batu demokrasi yang bebas rasa sakit. Kearifan senantiasa dibayar oleh kebesaran jiwa untuk kemaslahatan bangsa.
Patut diketahui bahwa siapapun presiden terpilih bukanlah merupakan terminasi atau akhir perjalanan kehidupan berbangsa. Sejarah telah mencatat bahwa system keterpilihan pemimpin-pemimpin bangsa ini telah menunjukkan dua sisi mata uang. Sisi pertama adalah “Nota” artinya eksistensi pemimpin kita telah menunjukkan Raport positif terhadap penyelenggaran pembangunan Negara ini. Sisi lainnya adalah “Noktah” atau noda. Artinya keterpilihan pemimpin bangsa ini telah dicederai baik secara sistemik maupun nonsistemik. Dengan demikian apakah Megawati, apakah SBY apakah JK senantiasa akan berada pada arus dua sisi mata uang tersebut. Orang bilang siapapun presiden kita, selalu beda-beda tipis. Artinya siapun presidennya “kemiskinan” belum pernah absen(sekedar sebuah contoh).
Menimbang resiko terjadinya deficit demokrasi yakni dimana harga atau biaya penyelenggaraannya tidak sebanding dengan hasil, maka kesadaran menginternalisasi peta kekacauan pemilu legeslatif sebagai ancaman serius deharmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara sepatutnya menjadi perhatian segenap partisan dalam mengelola demokrasi ini dengan kecerdasan tata kelola resiko.
Harmonisasi Nasional diujung tanduk merupakan sebuah gagasan yang patut dipikirkan. Didalam agenda pemilu presiden, kita memiliki kepentingan bersama. Realitas multi partai, multi kader, multi ideology merupakan asset kebangsaan, asset pemberdaya yang sepatutnya dijaga, dikelola untuk memproduksi “kemakmuran dan kesejahteraan bersama”. Partai adalah symbol garis dan instrument perjuangan, tapi rakyat adalah kita (tujuan perjuangan) para pejuang yang tidak boleh terfragmentasi oleh symbol-simbol apapun termasuk partai belaan.
Bagi driver-driver partai,penting untuk tahu bahwa konstituen yang tidak memilih dulunya merupakan konstituen partai anda. Bahkan ada konstituen yang telah melintasi batas-batas ideology (passing over) namun tetap tentram dan masih mendukung gerak kerja partai anda. Pola dukungannya tentunya tidak dapat dilihat dari sekedar memberikan suara. Ada banyak porsi dan versi dukungan yang sudah dan terus akan diberikan walaupun secara praktis tidak disuarakan lewat garis pencontrengan.Jadi siapapun presiden kita nantinya, sejatinya merupakan pilihan konstituen bersama. Akhirnya harmonisasikan idealism pribadi, kelompok kita selaras dengan idealisme Negara kita tercinta INDONESIA RAYA.Merdekalah dalam KEHARMONISAN.