Senin, 28 Juni 2010

Apa itu sikap (sebuah definisi)




BL Padatu

Oxford Learner’s pocket Dictionary new edition memberi definisi sikap mengarah pada makna prilaku. Sikap (attitude) is way of thinking or behaving.(Oxford University press,2005).Menurut Bimo Walgito (2002:109) pengertian sikap dapat didefinisikan secara beragam sebanyak definisi para ahli. Beberapa diantaranya Thurstone, seperti dikutip Edwards,1957:2,
“An attitude as the degree of positive or negative affect associated with some psychological object.By psychological Thurstone means any symbol, phrase, slogal, person, institution, ideal, or idea, toward which people can differ with respect to positive or negative affect”.
Dari batasan tersebut dapat dikemukakan bahwa Thurstone memandang sikap sebagai suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negative dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang positif, yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negative adalah afeksi yang tidak menyenangkan.Dengan demikian objek dapat menimbulkan berbagai-bagai macam sikap, dapat menimbulkan berbagai-bagai macam tingkatan afeksi pada seseorang. Thurstone melihat sikap hanya sebagai tingkatan afeksi saja, belum mengkaitkan sikap dengan prilaku.Dengan kata lain dapat diketemukan bahwa Thurstone secara eksplisit melihat sikap hanya mengandung komponen afeksi semata.
Newcomb (1965) memberikan pengertian sikap sebagai:
“From a cognitive point of view, then, an attitude represent an organization of valenced cognitions. From a motivational point of view, an attitude represents a state of readiness for motive arousal.”
Dari batasan tersebut, Newcom, mencoba menghubungkan sikap dengan komponen kognitif dan komponen konatif. Namun komponen afektif justru tidak Nampak, sebagaimana yang dimunculkan oleh Thurstone.
Pada bagian lain Rokeach (1968) memberikan pengertian tentang sikap sebagai berikut: “An attitude is a relatively enduring Organization of beliefs around an object or situation predisposing one to respond in some preferential manner” Dalam pengertian ini pengertian sikap telah terkandung komponen kognitif dan juga komponen konatif, yaitu sikap merupakan predisposing untuk merespon, untuk berprilaku. Ini berarti sikap berkaitan dengan prilaku, sikap merupakan predisposisi untuk berbuat atau berprilaku.
Baron dan Byrne (1984), mengutip pendapat dari Eagly dan Himmelfarb, serta pendapat dari rajecki mengatakan “Specifically, they define attitude as relatively lasting cluster of feelings, beliefs, and behavior tendencies directed toward specific person, ideas, objects, or groups”. Myers(1983) berpendapat bahwa sikap merupakan “A predisposition towards some object;includes one’s beliefs, feelings, and behavior tendencies concerning the object”.
Jalaludin Rakhmat (2000:39), memberikan simpulan tentang sikap sebagai pertama, kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukanlah prilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berprilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Jadi, pada kenyataannnya tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Sikap haruslah diikuti oleh kata “terhadap”, atau “pada” objek sikap. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak diingini, apa yang harus dihindari (Sherif dan Sherif, 1956:489, dalam Jalaluddin Rakhmat,2000:40). Ketiga, sikap relatif menetap. Berbagai studi menunjukkan bahwa sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan. Ke-empat, sikap mengandung aspek evaluative: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan, sehingga muncul definisi sederhana “Attitudes are likes and dislikes.” Kelima, sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.
Dari batasan tersebut diatas, pengertian sikap telah mengandung komponen kognitif (beliefs), komponen afektif (feelings), dan komponen konatif (behavior tendencies). Gerungan (1966) memberikan pengertian sikap sebagai berikut:
“Pengertian attitude dapat kita terjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi. Jadi attitude itu lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal”.
Dari batasan ini juga dapat dikemukakan bahwa sikap mengandung komponen kognitif, komponen afektif, dan juga komponen konatif, yaitu merupakan kesediaan untuk bertindak atau berprilaku.
Dari bermacam-macam pendapat tersebut dapatlah ditarik suatu pendapat bahwa “sikap itu merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relative ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berprilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya. Menurut penulis Sikap dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai sebuah cara berpikir atau berprilaku.
Ambar Teguh Sulistiyani,2008:30, menyatakan bahwa ada satu kesulitan untuk memberikan pembedaan atau pemisahan antara sikap dengan perilaku. Karena seringkali prilaku merupakan bentuk visual dari sikap. Sikap ibaratnya merupakan keputusan batiniah sedangkan perilaku merupakan resonasi dari keputusan tersebut. Sebelumnya Sulistiyani mengatakan bahwa sikap merupakan bagian penting yang dapat mencirikan perbedaan antar individu. Variasi sikap seseorang dalam organisasi dapat diamati melalui respon terhadap suatu hal. Misalnya sikap keterbukaan, sikap disiplin, sikap kepatuhan, sikap kooperatif, merupakan bentuk respon atas suatu ketentuan atau peristiwa atau perintah. Sikap hanya dapat dibaca dari bahasa tubuh, tutur kata, atau prilaku atau perbuatan. Dalam organisasi cenderung potensial untuk terjadinya perbedaan karena sikap yang berbeda. Ada anak buah yang sangat patuh, tetapi ada yang sangat malas. Ada anak buah yang sangat patuh, tetapi ada yang membangkang, ada yang sangat mudah untuk diajak diskusi secara terbuka berpendapat, tetapi ada yang lebih suka bergunjing di belakang, dst. Pada tulisan lainnya ambar Teguh dan Rosidah (2003:61), menyatakan bahwa sikap lebih mengekspresikan bagaimana manusia ditempatkan atau diletakkan pada tempat yang bernilai atau terhormat, dipandang berharga. Dalam kontek contoh komunikasi pemimpin, peranan sikap dapat digambarkan sejauhmana pimpinan memperlakukan bawahan dalam komunikasi baik secara formal maupun secara non formal. Apakah prilaku dalam berkomunikasi menunjukkan adanya keterlibatan emosional, dalam pengertian ada penjiwaan secara baik? Apakah dalam berkomunikasi senantiasa menjaga nilai-nilai egaliter dan equality sebagai sesama manusia?
Kamus besar bahasa Indonesia (2005) juga memberikan jabaran definitive berkenaan dengan batasan sikap sebagai perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan; prilaku atau gerak-gerik.
Dapat dicontohkan penggunaan sikap yang menunjuk pada prilaku misalkan, Lembaga Administrasi Negara (LAN) Tahun 1997 dalam H.Darmakusuma (2002:3), mengatakan bahwa munculnya persepsi negatif dari masyarakat tentang kinerja aparat birokrasi, disebabkan oleh sikap atau perilaku yang kurang baik dari oknum aparat pelaksana. Persepsi demikian tidak saja meninggalkan kesan dan dampak tidak baik bagi masyarakat, namun berdampak langsung pada pelaku-pelaku internal aparatur yang mengkondisikan ketiadaan sosok pemimpin yang secara tidak langsung menjadi “teladan” atau “merek” pembelajaran” kepemimpinan.
Berdasarkan pada deskripsi tentang aspek sikap yang terkesan dualis,maka penulis mengambil posisi dan menyimpulkan untuk menerima pemberlakuan sikap sebagai prilaku seseorang yang termanifestasikan dalam prilaku seseorang yang dapat dibaca, didengar, dirasakan, dilihat,dll. Karenanya dalam menjelaskan sikap pemimpin dalam berkomunikasi maka tidak dapat dihindarkan untuk memaksudkan bahwa sikap memiliki keberartian yang kongruen atau sebagun.

Minggu, 20 Juni 2010

Isu Strategis Kaderisasi kepemimpinan


Oleh BL Padatu

Kebutuhan atau kehadiran sosok pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan sebuah agenda mendesak dan dapat dikatakan hingga pada level krisis dan kritis yang tidak dapat diabaikan atau dikesampingkan. Kehadiran seorang pemimpin dinilai menjadi penanda pasti yang dapat mengkalkulasi secara dini tingkat prospeksi keberhasilan capaian misi dan visi organisasi. Melalui peran strategis kerja pemimpin sebuah organisasi dapat mengabstraksikan atau mengaplikasikan agenda kerjanya dengan jauh lebih terstruktur, dinamis, terarah dan dapat diukur atau diprediksi tingkat keberhasilan capaiannya dibandingkan dengan ketidakhadiran seorang pemimpin. Sayangnya keberadaan seorang pemimpin sejati atau sesungguhnya merupakan fenomena yang langka. Berbagai organisasi baik disektor private, terlebih khusus di organisasi publik didera sebuah fenomena krisis ketersediaan sosok pemimpin. Sebut saja misalkan dalam konteks suksesi kepemimpinan tingkat Nasional, Indonesia memasuki babakan wacana akan krisis kader-kader kepemimpinan yang dianggap sosok strategis yang ekspektasikan mendrive berbagai perubahan-perubahan signifikan bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Belakangan ini fenomena Artis berburu posisi kepemimpinan (belakangan dikuti oleh profesi-profesi lainnya tanpa mempedulikan kompetensi yang dimiliki) disinyalemenkan sebagai penanda pasti sekaligus kegagapan masyarakat atau keputusasaan, bahkan dapat dikatakan kebingungan masyarakat (jika tidak dikatakan ketidak tahuan masyarakat) siapa sesungguhnya pemimpin itu. Lompatan-lompatan politik para artis (dan beberapa bidang-bidang lainnya) dianggap beberapa kelompok masyarakat sebagai wujud betapa Indonesia yang kita cintai mengalami kursi kosong pemimpin yang dipaksakan dapat diisikan oleh siapa saja yang dapat merebut simpati masyarakat tanpa harus diperhadapkan pada suatu tuntutan pemahaman eksistensi pemimpin.
Apabila dicoba untuk diruntut atau distruktur kembali fenomena krisis kepemimpinan, maka dapat dimunculkan beberapa tesis sederhana berkenaan dengan faktor-faktor kausalitasnya mengapa Indonesia atau setiap organisasi dilanda krisis kehadiran seorang pemimpin. Salah seorang pengamat kepemimpinan mensinyalir bahwa problem kepemimpinan berakar pada hilangnya visi pembangunan bangsa dan Negara. Ia mengatakan bahwa :
“Persoalan terbesar Indonesia saat ini bukan masalah mentalitas dan moralitas pejabat, pemimpin politik, anggota DPR, pengusaha dan masyarakat.Juga bukan menyangkut korupsi atau buruknya masalah hokum. Persoalan terbesar sekarang lebih mendasar daripada hal-hal disebutkan diatas, yang semuanya cenderung merupakan derivasi (turunan) daripada satu hal yang sangat fundamental, yakni:arah dan masa depan bangsa ini sendiri. Where do we really want to go?” (Tobing,2006. dalam Erwan Purwanto,2006).
Terhadap argumentasi diatas, Erwan Agus Purwanto,2006, mengatakan bahwa sinyalemen tersebut menunjukkan secara gamblang bahwa saat ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan pada birokrasi publik kita.Hal ini berkaitan dengan peran pemimpin sebagai driver masa depan sebuah organisasi, seorang visioner. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa ada krisis kepemimpinan pada birokrasi publik kita? Bukankah di Indonesia ada puluhan menteri, ratusan dirjen, dan ribuan pejabat eselon satu sampai empat yang boleh dikategorikan sebagai pemimpin karena mereka menduduki jabatan struktural? Pertanyaan seperti ini menurutnya wajar dan tidak salah.Persoalannya adalah apakah para pejabat eselon tersebut telah menyadari dirinya sebenarnya sebagai seorang pemimpin ataukah mereka hanya mendudukkan dirinya sebagai manajer.
Pada kasus yang lain, secara Lebih panjang lebar dijelaskan bahwa krisis kepemimpinan dapat juga disebabkan mandeknya atau terputusnya kaderisasi kepemimpinan didalam setiap organisasi bersangkutan. Organisasi baik secara sadar atau tidak mematikan kran-kran kaderisasi kepemimpinan yang seharusnya menjadi perhatian berkesinambungan. Dari ketidak tahuan bagaimana menstruktur atau mengarsiteki kelahiran seorang pemimpin, keengganan karena berkaitan dengan cost yang tinggi, juga berkaitan pada tindakan politisasi sempit untuk menghindarkan diri dari kehadiran pemimpin baru yang mengancam posisi pemimpin sebelumnya, hingga pada tidak adanya figur-figur yang secara etik-moral-profesional yang menjadi figur-figur “benchmarking” akan sosok ideal pemimpin.
Kaderisasi kepemimpinan merupakan isu penting dalam organisasi publik, atau organisasi manapun. Kaderisasi merupakan suatu proses untuk menghadirkan atau menyiapkan regenerasi kepemimpinan yang siap untuk mengambil alih atau menindaklanjuti kerja kepemimpinan. Kaderisasi kepemimpinan merupakan suatu proses transfer seperangkat kecakapan kepemimpinan terdahulu kepada penerusnya hingga mencapai level keberfungsian yang sama bahkan dapat cenderung melebihi pemimpin pendahulu.
Dalam alur kaderisasi kepemimpinan dikenal dua jalur, yakni jalur formal dan jalur informal. Jalur formal umumnya melalui proses pendidikan terencana, penstrukturalan jenjang karir kepemimpinan yang sistmatis,dll. Sedangkan Jalur informal(internal) merupakan jalur yang tidak melalui proses-proses sebagaimana jalur formal (jalur ini masih belum banyak mendapat perhatian serius). Umumnya jalur informal bergerak dari kesadaran bawahan untuk menstruktur kecakapan kepemimpinan secara mandiri, terlepas dari usaha-usaha sistematis yang dilakukan organisasi ataupun seorang atasan kepada bawahan secara pribadi.
Kaderisasi via jalur informal menuntut adanya sebuah figure atau pribadi yang memiliki kekuatan karakter atau citra diri yang sangat kuat. Kekuatan karakter atau citra diri sangat dipersyaratkan agar seorang bawahan dapat terinspirasi,termotivasi, berkomitmen, berinisiatif dan berkeyakinan untuk melakukan struktur pembelajaran diri secara mandiri menginternalisasi nilai-nilai dasar kepemimpinan dalam dirinya. Sepanjang ketersedian figure-figur demikian tidak tersedia maka kaderisasi informal (internal) kepemimpinan sulit bahkan tidak terjadi.
Kaderisasi kepemimpinan jalur informal (internal) membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki seperangkat tingkat kecakapan atau keahlian yang dapat dianggap sebagai “value added” (nilai tambah) atau keunggulan plus yang dapat memperkuat peran kepemimpinannya. Seorang pemimpin diharapkan memiliki basic atau dasar pengetahuan yang komprehensif berkenaan dengan peran dan struktur kepemimpinan dalam mendrive organisasinya hingga ketingkat dimana pengetahuan komprehensifnya menjadi unsur kekuasaan yang dapat mengikat penerimaan bawahan pada tingkat ketaatan, kepatuhan, respek pada sang pemimpin. Begitu juga terhadap nilai-nilai lain diluar kepemimilikan pengetahuan kepemimpinan, yakni kepemilikan sikap yang baik sebagai sebuah variable kepemimpinan yang juga sangat memberi pengaruh terhadap tingkat penerimaan bawahan, apalagi sebagai anasir pembentuk kesediaan menjadi figure yang dapat diteladani atau dijadijakan pembelajaran kepemimpinan.

Kamis, 17 Juni 2010

Artefak Demokrasi dalam Pilkada



BL Padatu
Winston Churchill jauh-jauh hari telah mentesiskan bahwa demokrasi bukanlah sistem terbaik , sayangnya belum ada pilihan terbaik lainnya untuk menggantikannya. Seutuhnya ia mengatakan,” it has been said that democracy is the worst form of government excep all the others that have been tried.” Paling tidak Indonesia sepakat untuk menggunakan.
Satu dasa warsa lebih telah dijalani, apa yang dapat dipetik dalam pelaksanaan Pilkada dalam sistem demokrasi yang kita anut? Secara konseptual Demokrasi yang dibangun pasca reformasi 1998 adalah berdaulatnya rakyat dalam pemerintahan yang ditandai dengan keterlibatan langsung (direct partisipation) dalam ruang kebebasan. Demokrasi yang oleh Pericles (finley,1973) direntang definisikan,”mendiskusikan dengan sebaik-baiknya tanpa kekangan dan dan dengan hak isegori yakni kesamaan hak untuk berpendapat dalam majelis berdaulat tinggi (sovereign assembly)
Kekuatan demokrasi sesungguhnya terletak pada kekuatan verbal dialogis, hak bersuara, hak menyatakan kebutuhan, hak wacana. Demokrasi merupakan kran penyalur pemahaman yang tidak resisten pada realitas perbedaan dalam interaksi politik (Farrar,1992) diluar batasan tersebut demokrasi tidak dimaksudkan.
Konflik Pilkada
Ruang kebebasan sebagai sebuah anugerah atau kebaikan sistem demokrasi sepertinya terbaca lebih mendatangkan kutuk (curse) ketimbang berkah (blessing). Sulit untuk tidak berkata bahwa hampir keseluruhan proses penyelenggaraan Pilkada dibumbui oleh konflik horisontal (sesama pendukung) dan vertikal (terhadap penyelenggara). Dua peristiwa terkini; Insiden pilkada Mojekerto(21/5), Anarki Pilkada Toli-toli (kompas 2/6) memiliki kemiripan polarisasi konfliknya; demo, mobilisasi massa, pembakaran, pengrusakan infrastruktur, ancaman fisik, teror psikis.
Di titik ini demokrasi pilkada kehilangan kekuatan untuk tetap berpijak dan hidup dari spirit primer landasan konseptualnya yakni “demokrasi bicara”. Demokrasi pilkada tersebut telah melahirkan varian variable demokrasi “demokrasi ancam, demokrasi tendang, demokrasi bakar, demokrasi paksa, demokrasi teror, dll” Sulit untuk percaya bahwa demokrasi pilkada yang keruh ini terus bergayung sambut seolah tiada hilir. Gugatannya dimana letaknya “diskusi sebaik-baiknya” sebagaimana dikatakan Pericles?
Pemimpin produk Pilkada
Berapa jumlah pemimpin yang dihasilkan oleh proses demokrasi pilkada di Indonesia? Tentu jawabnya linear dengan jumlah adanya Pemerintahan Daerah administratif pada Pusat dan daerah (propinsi,kabupaten/kota). Bagaimana dengan Kinerja Kepemimpinan mereka? Laporan yang dikeluarkan Departemen dalam Negeri menyatakan 33 Provensi di Indonesia tidak ada yang menunjukkan kinerja Sangat Tinggi, hanya 9 Kabupaten dan 2 kota yang memiliki kinerja sangat tinggi dari 524 Daerah yang ada (Kompas 17 Des,2009). Begitu juga jika kita telisik dari laporan angka penduduk miskin 2008-2009 tingkat penurunan penduduk miskin hanya ± 1% dari 15.4% turun 14.5% (lihat Jawa Pos 28/2009). Dengan demikian jejak kinerja yang ditinggalkan oleh para pemimpin yang dihasilkan dalam proses demokrasi pilkada harus menjadi catatan krusial untuk diperhatikan. Terlebih jika harus diperhadapkan dengan fakta banyaknya pemimpin-pemimpin daerah yang harus berurusan dengan peradilan korupsi.
Menggeser kembali fokus
Dinamika masalah yang bertabur disepanjang koridor demokrasi pilkada di Negara kita sepatutnya menjadi titik lihat bersama dan ditaruh dalam daftar agenda mendesak untuk diselesaikan. Demokrasi pilkada kita telah mengalami “defisit” Harga beli demokrasi pilkada sejauh ini sulit untuk dihitung kalkulasi untungnya. Ruginya banyak, belum lagi kerugian terhadap terbangunnya mekanisme kebiasaan/prilaku kasar, merusak, yang berujung pada dehumanisasi.
Rakyat(peserta) pilkada tidak dapat dilihat lagi sebagai “Rakyat yang berdaulat” dengan martabatnya sebagai yang benar-benar rakyat. Rakyat dalam konteks demokrasi pilkada telah mewujud menjadi “Rakyat gerombolan” dimana kehadirannya sudah tidak untuk yang lain (being-for-other).
Demokrasi pilkada di mana didalamnya terjadi chaos telah membelah rakyat kedalam pembagian yang kehilangan sensitivitas nilai cinta akan kebersamaan dan hubungan yang sesungguhnya mutlak mengikat manusia dalam peristiwa kehidupan (Jean Paul Sartre1905-1980).
Jika demikian kita perlu menggeser fokus kita tidak hanya melihat apa yang sudah berlangsung di kekinian, sepatutnya kita memandang akan adanya “Struggles of hope” kedepan dengan demokrasi pilkada kita. Kita mesti berjuang dengan multi aksi dengan dilandasi semangat menangguk keuntungan berkelanjutan pasca demokrasi pilkada dan bukan keuntungan periodik yang nilai pencapaiannya belum jelas(bahaya laten korupsi).
Darimana pergeseran fokus harus dimulai? Tentu redefinisi visi demokrasi pilkada patut dikerjakan. Demokrasi pilkada kita yang sekarang ini lebih merupakan “demokrasi konsep” ketimbang “demokrasi praksis”. Tingkat pendefinisikan ulang visi demokrasi pilkada dibidikan pada kemampuan memprediksi apa yang akan terjadi ke depan dengan strategi penataan prilaku dan kerja sekarang dalam demokrasi pilkada. Jika hal ini dikerjakan dengan telaten tentu apa yang dikatakan suryopratomo (2007) dalam catatan sekapur sirih visi Indoensia 2030 menjadi penting untuk ditimbang yakni,”Mereka yang mampu memprediksi apa yang terjadi di depan, dan merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan ke depan, akan memetik manfaat paling maksimal.” Andai demokrasi pilkada tersus berlangsung seperti sekarang sulit untuk memperoleh apa yang disebut kebutuhan dasar manusia terpenuhi, yaitu kebutuhan partisipatif, kebutuhan beristirahat, kebutuhan rekreasi, kebutuhan identitas dan kebutuhan akan kebebasan (Manfred Max-Neef,1987). Akhirnya kita butuh menghasilkan kehidupan yang bukan saja sejahtera secara ekonomi namun sejahtera secara sosial dan politik. Inilah yang kita sebut-sebut sebagai artefak(hasil) demokrasi pilkada yang dinantikan.

Misteri Politik Indonesia




BL Padatu
I’ll be back. Dalam catatan saya inilah pernyataan Sri Mulyani Indrawati yang paling memiliki makna, sarat pesan politis, dari semua pernyataan beliau di akhir masa jabatannya. Paling tidak SMI memberikan kepada kita semua sebuah Pekerjaan Rumah (PR) untuk menafsirkan makna dibalik pernyataan tersebut. PR tersebut tentunya ditujukan bagi dirinya sendiri dan secara keluar bagi lawan-lawan politiknya. Persoalannya adalah great design apa yang sedang ia pikirkan dan persiapkan ke depan. Kita tidak tahu kembalinya Sri Mulyani apakah dalam rentang waktu panjang atau sesegera mungkin. Apakah ia akan membuat sebuah manuver politik jarak jauh? Apakah ia akan datang di 2014 sebagai salah satu kandidat R1 Atau apa? Di dalam pernyataan tersebut tersimpan misteri.
Misteri Politik
Dinamika politik Indonesia dapat dikatakan menyimpan banyak misteri. Banyak sekali contoh yang dapat menunjukkan kepada kita peta misteri. Rasionalitas politik kita sering kali terbaca oleh publik sebagai politik irasional.
Dapat disebutkan deretan realitas politik paling aktual, bagaimana mungkin Negara yang dikelompokkan sebagai salah satu negara terkorup di dunia dari dalamnya dipilih seorang yang menduduki posisi strategis di dunia perbankan skala dunia (Bank Dunia). Begitu juga sulit membayangkan bahwa seorang yang telah divonis secara politik “guilty” (bersalah) dalam kasus Bank Century di luar negaranya diapresiasi sedemikian tinggi dengan bentuk penghargaan yang belum pernah dicapai oleh putra-putri Indonesia sebelumnya dibidang yang sama di Nahkodai Sri Mulyani.
Susno menjadi salah satu Potret misteri Politik yang juga memperdalam public confuse. Publik dibuat semakin bingung dengan perwira bintang tiga yang pada masa-masa turbulensi hiruk pikuknya isu mafia Kasus menjadi pribadi paling tertuduh, public enemy, sosok yang paling dibenci. Dalam perjalanan “kompromi politik Internal” di Kepolisian Republik Indonesia Susno harus mengurut dada di copot sebagai kepala Bareskrim.
Waktu pada akhirnya mendaulat Susno sebagai Jendral “berbintang empat” dalam artian bintang yang satu adalah simbol kepahlawanannya yang dianggap patut mendapat bintang atau penghargaan publik atas jasanya sebagai whistle blower. Realitas berbicara lain, Susno kini mendekam di tahanan. Tiupan peluitnya meniupkan badai bagi dirinya sendiri. Kasus yang ia hembuskan justru menjadi bumerang. Di titik ini kebingungan publik semakin menggunung. Ada apa gerangan?
Mundur ke belakang kasus Bibit dan Chandra , di teralibesikan dengan argumentasi pelanggaran tidak adanya tanda tangan kolektif pimpinan KPK dalam surat pencekalan yang dikeluarkan terhadap Djoko Tjandra dan Anggoro. Melalui dinamika dukungan publik yang kuat, pemerintahan melalui pidato politik SBY berdasarkan masukan-masukan Tim 8 merekomendasikan pembebasan Bibit dan Chandra atas dasar pertimbangan yang melampau substansi materi hukum. Sayangnya ending yang manis dari gejolak isu kriminalisasi KPK kembali membara pasca kemenangan Anggodo di praperadilan terkait SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan). Kasus ini pada ujungnya menambah daftar misteri politik di Indonesia.
Selasa 1 Desember 2009(Berita Tv one), LSM Bendera mengedarkan selebaran Aliran Dana Century. Dalam edaran tersebut Bendera mengkalim memiliki data valid terkait semua aliran dana yang diklaim diterima oleh Partai Demokrat dan sejumlah nama seperti Amiruddin Rustam 33 milyar, Choel Malarangeng 7 milyar (tempo interaktif 5/2/2010). Rabu 10 Februari 2010(Vibis Daily.Com) PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) melalui konfirmasi 112 Bank Umum menegaskan bawa Bendera keliru, data mereka tidak valid. Ujung-ujungnya pasca pemanggilan dan pemeriksaan Bendera oleh pihak kepolisian mereka dibebaskan. Siapa yang benar publik sudah kehilangan jejak. Semestinya soal aliran Dana Bank Century dapat diketahui dengan jelas. Hingga hari ini public masih merindukan misteri Bank Century terpecahkan.
Bagaimana dengan kasus-kasus lainnya? Tentunya masih merupakan daftar misteri yang belum masuk pada daftar tayang. Semuanya masih tertutup tirai panggung misteri politik.
Quo Vadis Politik Indonesia
Menggungkap berbagai misteri di pentas perpolitikan merupakan terminasi tanpa ujung. Satiran terhadap politik dikenakan oleh publik politik adalah seni mengaburkan sesuatu. Bukan politisi namanya kalau tidak mampu menyembunyikan sesuatu. Politik dikelola dalam perspektif cerdik menyiasati, pandai menelanjangi dan pintar menjubahi keburukan.
Membedah pergerakan perpolitikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan oleh semangat kartelisasi politik berbasis pada mekanisme monopoli pasar dan bukan lagi pada panggilan demokratik partisipatif. Kartelisasi Politik merupakan pintu masuk rent seeker yang secara vulgar senantiasa menjinakkan pasar menalui serangkaian manipulasi regulasi, tariff, dll diatas bangunan konsensus politik siapa dapat apa. Kartu-kartu Kartelisasi Politik senantiasa dimainkan untuk meredam gejolak oposisi dengan dalih stabilitas politik yang sesungguhnya “stabilitas elite”. Hari ini sebuah partai menjadi oposisi, besok lusa re-posisi. In part dan de part dalam dinamika eksekutif menjadi dua kutub yang halal dihuni. Hari ini koalisi esok gembosi merupakan hal yang sah-sah saja. Wawasan definisi publik menjadi semakin kacau dalam memahami dinamika koalisi dan oposisi. Siapa yang pure kawan dan lawan setiap hari membuka kemungkinan saling bertukar posisi.
Membaca realitas politik Indonesia masa terkini seolah membaca dinamika alam. Angin telah terhembus, awan hitam telah membercakkan dirinya di horison, ramalannya jelas akan segera turun hujan. Sayangnya Hujan tidak kunjung Turun. Kasus Century, Kasus Gayus, Kasus Susno, kasus aparat penegak hukum, semuanya telah disertai gejala-gejala turunnya “Hujan Kebenaran”, sayangnya semuanya pekat kembali menjadi misteri yang tidak kunjung tiba. Konstelasi politik Indonesia sungguh-sungguh Misteri. Dapatkah publik memecahkannya?

Jumat, 04 Juni 2010

Harga Sebuah Kepemimpinan?

BL Padatu
Mojokerto rusuh saat visi dan misi stategis ke tiga kandidat Bupati dan wakilnya dipaparkan. Paling tidak insiden ini menyumbangkan satu persoalan yang krusial untuk dipikirkan serta mendapat tempat perumusan dalam visi dan misi kepemimpinan daerah kedepan. Pemimpin baru, siapapun mereka memiliki tugas membangun karakter masyarakat yang damai, memiliki kesadaran memelihara atau menjaga aset daerah.
Kurang lebih 17 Mobil/kendaraan dari 25 kendaraan yang parkir dinyatakan rusak berat,belum termasuk jenis kerugian lain. Berapa kerugian yang ditimbulkan oleh amuk massa ini? Harga kalkulatif dari segi materi tentu dapat ditafsir nominalnya. Misalkan jika harga sebuah mobil jenis kijang Inova terbaru seri 1.3 E M/T kurang lebih Rp.133.600.000 (ini seri termurah) itu berarti dikalikan 17 unit setara dengan Rp.2.271.200.000 belum ditambahkan dengan biaya kerusakan total mobil lainnya, bangunan,pagar, biaya perobatan,dll. Bagaimana dengan kerugian non material? Tentu jauh lebih besar.
Menimbang harga sebuah kepemimpinan dapat dianalisis dalam rentang waktu before dan after. Semua yang timbuk akibat suksesi kepemimpinan Pilkada memiliki nilai atau harga yang signifikan. Harga yang berkorelasi langsung dengan tujuan kepemimpinan itu sendiri.
Seorang pemimpin yang mendeklarasikan dirinya berkompetisi sebagai kandidat/peserta pilkada pada dirinya senantiasa dibekali dengan kesiapan daya dukung finansial selain syarat-syarat lain. Dalam konteks kebutuhan before, seorang kandidat Pilkada wajib menyediakan sejumlah uang untuk belanja logistik kampanye, biaya tim profesional Tim pemenangan, ikln politik, dll yang total anggarannya mencapai pembilang milyar.
After atau sesudah memenangkan pemilihan, seorang pemimpin diperhadapkan dengan nilai taruhan yang sangat besar, melampaui jumlah pengelolaan besararan APBD daerah masing-masing. Secara empiris dapat diasumsikan seorang pemimpin akan memenuhi tanggungjawab pengembalian dana pemenangan. Tanggungjawab ini disertai oleh “Bunga Investasi Modal Pemenangan” yang besarnya tentu menyentuh rasio “Multiplikasi” atau penggandaan (kelipatan).
Kita asumsikan saja besaran APBD Kabupaten Mojokerto 2010 sebesar 328 Milyar. Belanja Kepegawaian teranggarkan “Rp 240 Milyar” (Surabaya pos/22 Des/2009). Itu berarti sisa anggaran sebesar 88 Milyar. Berapa jumlah anggaran yang dialokasi untuk diberikan kepada investor politik? Dan tentunya anggaran pelayanan publik? Andaikata seorang calon pemimpin menggunakan besaran 5-10 milyar dana kampanyenya, bisa dibayangkan nilai multiplikasinya. Jika menggunakan kelipatan 3 dari asumsi 5 milyar investasi politik itu berarti seorang kepala daerah terpilih wajib mengalokasikan modal 5 milyar ditambah 3x5 milyar yakni 15 milyar. Total dengan modal awal 20 milyar. Dengan sisa anggara 88 milyar dikurangi 20 milyar maka sisa dana yang akan dikelola sebagai belanja pelayanan publik adalah sebesar 68 milyar.
Dengan jumlah penduduk Mojekerto yang tersebar di 18 kecamatan yakni 1.073.027 (Januari 2010/bagian perekonomian Kab. Mojokerto) itu berarti jika sisa anggara didistribusikan menggunakan asumsi jumlah kecamatan, dengan demikian masing masing kecamatan terjatah kurang lebihRp. 3.7 milyar. Kalau asumsi distribusi anggarannya menggunakan perkapita/perpenduduk,itu berarti setiap penduduk terjatahkan anggaran sebesar Rp.63.000,372 . Pertahun anggaran (APBD) setiap penduduk Mojokerto hanya diback-up dana layanan publik Rp. 63.000. untuk semua jenis layanan publik yang dapat dinikmati (pendidikan, kesehatan, infrastuktur). Dapatkah besaran daya dukung dana layanan publik ini dapat meningkatkan indek pembangunan Manusia di Mojokerto? Perlu dicatat besaran sisa anggaran tersebut belum dikonvesasikan buat menggantikan seluruh kerugian yang ditimbulkan dengan Insiden pilkada Mojokerto baru-baru ini. Termasuk anggaran pilkada itu sendiri sebesar 22,5 milyar. Tentu jika dihitungkan dengan biaya pilkada ini porsi anggaran bagi rakyat jauh dibawa standar keberdayaan.
Dalam konstruk konsep PPF (Product possibility frontier) diasumsikan bahwa dalam batasan sumber daya terbatas penambahan satu jenis produk hanya dimungkinkan dengan mengurangi atau mengorbankan produk lainnya. Jika digunakan dalam menjelaskan keterbatasan anggaran publik, masuknya mata anggaran baru (untuk kepentingan investor politik atau penggantian kerusakan/kerugian materil dalam insiden Mojokerto) akan dengan sendirinya mengurangi pos anggaran lainnya bahkan menghilangkan proyek-proyek yang sudah ada terlebih dahulu. Dengan demikian setiap bentuk kerugian yang telah ditimbulkan oleh amuk massa Pilkada akan kembali atau terpulang pada pembebanan mata anggaran baru.
Dengan konstruksi persepsi ilustratif terhadap kontestasi kepemimpinan, terlebih kepemimpinan anggaran diatas, tergambarkan betapa nilai taruhan kepemimpinan setiap pilkada berada pada pertaruhan yang sangat mahal harganya. Mahal buka saja menyangkut ongkos penggangkatan seorang pemimpin, namun sangat mahal dalam ke-efektifan dan ke-efisienan bahkan keadilan pengelolaan dana yang sudah terdistribusikan berdasarkan pertimbangan anggaran yang sangat minimais bagi rakyat banyak. Mahal bukan saja ketersediaan dana terbatas namun kecerdasan dalam menskala prioritas pembiayan layanan publik.
Siapapun yang terpilih dalam pemilu tersebut kiranya para pemimpin menyadari betapa rakyat hanya memiliki beberapa rupiah dana anggaran untuk banyak jenis layanan publik yang tentunya mutunya perlu dievaluasi. Semoga hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua daerah di Indonesia.

Sabtu, 15 Mei 2010

Sintas “SUSNO”?

BL Padatu
Jendral Bintang tiga di jajaran Kepolisian Susno Duadji memasuki babakan baru. Belum lagi ia menarget kasus penggelapan pajak nilai fantastis 250 Trilyun, langkah perkasanya terhenti dengan turunnya status tersangka. Apakah ini Skak Mat bagi Susno?
Tudingan adanya “Rekayasa” atau konspirasi/persekongkolan bermotif balas dendam atau penyelamatan “sesuatu” yang ditimbang lebih besar nilai pertaruhannya ketimbang memberangus sepak terjang Susno yang dianggap Kanibal menjadi tirai gelap bagi cita-cita reformasi hukum, clean government, clean police. Entah bagaimana lagi mendefinisikan Akuntabilitas hukum yang belakangan banyak dikacaukan praktisi hukum dalam debat hukum mereka. Apakah sisi kebenarannya didasarkan pada argumentasi kuantitatif dari para praktisi hukum? Atau ini menjadi soal yang berakar pada Chaosnya konstruktur/bangunan hukum dalam menterjemahkan moral dari Kebenaran. Dengan kata lain ada “hal Prinsip” yang belum tercover di dalam konstruk regulasi di negara kita?
Sepanjang lintas diskusi kasus “susno mengungkap” dinamika “side efek” terus bergulir bukan saja bagi mereka yang dibuka dokumen celanya, namun bagi dirinya sendiri, tentunya masih akan mengalir soal-soal baru yang nampak dengan sendirinya ataupun by design dimunculkan.
Publik dalam kasus ini, baik publik secara fisik maupun publik secara Psikis tentu dibuat bingung untuk memahami logika atau rasionalitas penangkapan dan penahanan Susno. Teramat Sulit bagi publik yang rentang pemahamannya tentang hukum sangat jauh dari apa yang disebut tahu dan paham tentang substansi hukum guna menarik benang merah persoalan ini dari kasus Century case, Gayus case, Arwana case, terlebih lagi jika memproblematisasikan berbagai Geliat senayan dengan niatan memparadigmakan Ketata negaraan kita dibawah payung Politik sebagai Panglima. Dimana multi soal bangsa ini dilerai berdasarkan logika “konsensus/deal politik”
Sintas-kah Susno Duadji melawan arus deras yang senyatanya berkekuatan penuh menggiring Susno selangkah lebih dekat dengan jeruji penjara? Ini adalah pertanyaan yang tentunya membawa kita berandai-andai jika persoalan ini pure soal kebenaran yang terbebas dari intervensi masif politik tentu jawabannya akan kita kembalikan pada kemurnian dan bersihnya Susno dari tindakan melawan hukum. Namun jika intervensi Politik, bukan hanya politik senayan namun terkait dengan politik Internal kelembagaan yang berkepentingan dengan Grand misi penyelamatan internal institusi secara parsial maka sulit bagi Susno bertahan, terus menghidupkan cita-citanya mereformasi Polri yang ia cintai dengan taruhan darah dan Nyawa.
Bisa jadi Susno dan Tim Pengacaranya berjuang bersama Institusi yang kantong-kantong moralitasnya sudah lapuk atau bocor. Dengan demikian semurni apapun klaim pembelaan kebenaran yang diupayakan akan tercecer. Seolah memompa ban kempis yang bocor, seluruh suara-suara perjuangan mengupayakan Republik Hukum serasa sia-sia.
Kita masih diingatkan oleh suara pesimis Mahfud MD yang menilai penanganan dan penetapan status tersangka Susno ibarat penegakan hukum di rimba belantara yang tidak jelas mekanisme hukumnya. Penetapan status tersangka ini dalam penilaian beliau merupakan kasus menggemparkan penegakan hukum di Indoensia. Bahkan secara eksplisit menegaskan mekanisme tindakan hukum jangan sampai merupakan design by order atau perintah otoritas level atasan.
Jika penanganan kasus Susno tidak berbelit-belit atas sengaja dibelit-belitkan bisa jadi Susno dengan keyakinan bersihnya akan memerdekakan diri dari jeratan hukum, namun jika mekanisme perlakuan hukum disuperioritas oleh anasir-anasir lainnya tentu dapat dipastikan Susno di korbankan. Dan itu berarti Hukum, kebenaran khas milik Republik ini Hilang bersama kalahnya Susno memenangi pertarungan high class/high risk ini.
Menangnya Anggodo bersama tim pengacaranya dalam sidang praperadilan yang menggugat terbitnya SKPP menjadi indikasi yang juga vague terkait implementasi hukum di Negara kita ini. Kita tidak tahu dinamika hukum versi manakah yang akan memenangkan pentas tarung interprestasi pemberlakuan hukum. Demikian halnya dengan Susno dan Tim pengacaranya yang telah mendaftarkan praperadilan sebagai sebuah instrumen perlawanan hukum yang dimungkinkan dalam UU.
Face to face dalam instrumen hukum antara Polri sebagai pihak tergugat (dengan pengakuan mereka bahwa telah cukup bukti) dalam skope praperadilan dan Susno Cs sebagai penggugat yang menilai penangkapan dan penahanannya tidak memiliki alasan/argumentasi hukum yang kuat.
Agenda atau reaksi gerak cepat Panja Susno yang akan dikawal 10-15 “pendekar senayan” akan meramaikan proses pemecahan masalah pada garis batas mengawal proses hukum yang adil dan sesuai dengan konstruk UU. Sejauh mana daya kawal Panja yang berjanji menjawab permintaan perlindungan hukum Susno mampu mengeluarkan Susno serta injeksi oksigen untuk membuat susno lega serta memenangkan perjuangan menjadikan Hukum sebagai Panglima akan kita nantikan.
Semoga proses praperadilan tidak out of contain dari bingkai kebenaran hukum yang sesungguhnya, sehingga jika Susno benar, sebagaimana dideklarasikannya, maka tentu perjuangan Susno belum berakhir. Kita berharap Baik Susno maupun siapapun yang terkait dalam perjuangan mendeklarasikan kebenaran dapat membuat “Hukum sejati” Sintas di Republik ini.
Yogya 15/5/2010

Rabu, 28 April 2010

“INTEGRITAS BANGSA DAN RASA SAKIT RAKYAT”

BL Padatu

Gelombang kemarahan Publik dari bermacam isu terus menyapu kehidupan bermasyarakat kita. Kemarahan demi kemarahan ,sebut saja insiden terkini Tanjung Priok dan Batam, seakan menunjukkan kepada kita bahwa cadangan tabungan kesabaran rakyat menipis—jika tidak ingin disebut kolaps.
Rupa-rupa kemarahan teramat terbuka terjadi di semua bidang kehidupan manapun, termasuk institusi/kelembagaan Negara. Pertanyaannya adalah mengapa bangsa kita begitu gampangnya mengumbar kemarahan yang beresiko mengancam Persatuan dan Kesatuan Bangsa?
Pada sisi lainnya, kita mengetahui bahwa luapan kemarahan ini bersumber dari Rasa Sakit Rakyat yang menggugat pratek penyelenggaraan administratif kenegaraan yang belum dapat memaksimalkan perannya mensejahterahkan Rakyat sesuai Kontrak politik yang dilandasi oleh amanah UUD 1945.Bagaimanakah menyeimbangkan antara menjaga Integritas Bangsa dengan memahami Rasa Sakit Rakyat?
NKRI merupakan rumusan faktual dari kristalisasi “keberagaman” khas Indonesia yang merupakan idealitas bersama dimana musyawarah dan cita-cita pencapaian kemufakatan merupakan model yang dipilih dalam menuntaskan dinamika problem kebangsaan. Namun persoalannya menjadi terbalik, musyawarah dan kemufakatan telah diserobot oleh gesekan, benturan fisik untuk kemudian melakukan mediasi remidiatif. Walaupun terkesan adanya logika terbalik dalam memediasi masalah namun faktanya demikian dan perlu melakukan kerja analisi guna menggali perasaan batin rakyat yang sedang “Sakit.”
Indikasi sakit hati rakyat dapat ditimbang sumbernya. Beberapa diantaranya dari gap kesejahteraan regional, Bias posisi dan fungsi struktural yang cenderung vested interest, Kebingungan keseimbangan timbang keadilan yang jauh dari keberpihakan rakyat kecil.Penggunaan anggaran belanja Negara (APBN) yang belum menunjukkan korelasi besaran anggaran dengan tingkat kesejahteraan yang diharapkan. Besaran APBN dari tahun-ketahun cenderung meningkat namun tidak diikuti oleh peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Antara APBN 2007 sekitar 700 Trilyun, 2008 sekitar 900 Trilyun, 2009 sekitar 1.037 Trilyun (meskipun defisit sekitar 50 T), 2010 1.047. 7 Trilyun.
Ironisnya, ketidakberdayaan menyuarakan perjuangan hidup secara vertikal (pemerintah) melandaikan rasa sakit hati dan kemarahan yang kemudian terlampiaskan secara Horisontal yakni sesama rakyat tidak berdaya. Rasa Sakit yang teramat dalam menjadikan rakyat kalap, menyisakan sisi pertimbangan emosional sebagai satu-satunya instrumen menyikapi berbagai persoalan hidup mereka. Kejernihan akal sehat tersingkir. Dan sebagaimana kita ketahui Keputusan emosional pada akhirnya mendrive berbagai prilaku destruktif. Rasionalitas prilaku masyarakat menjadi terbalik. Memukuli orang, hingga melenyapkan nyawa orang lain asal beramai-ramai dalam perjuangan melawan kelompok lain yang dianggap telah merugikan mereka terlebih dahulu seakan-akan dapat dimengerti atau sah-sah saja.
Integritas Bangsa?
Indonesia pasca reformasi 1998, telah merubah karakter bangsanya. berapa sindian yang perlu direfleksikan datang dari hasil amatan prilaku bangsa Indonesia di kekinian. Bangsa Indonesia kini telah menjadi Bangsa Pemberani; Berani melawan Presidennya, berani mencaci anggota DPRnya, Berani Memukuli Pemimpinnya, Berani Membakar foto pemimpinnya, Simbol-simbol Kenegaraannya, berani memutuskan tali persahabatan bahkan kekeluargaan. Dan yang paling mengherankan Bangsa Ini sudah berani Melawan Tuhannya dengan mengatasnamakan DiriNya untuk sebuah legitimasi Kejujuran didepan Publik.
Ada apa dengan integritas kebangsaan kita? Bangsa kita memerlukan redefinisi hingga revitalisasi integritas Kebangsaan. Sebab tidak ada sebuah bangsa yang kuat yang tidak mendapatkan topangan Integritas. Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan Integritas sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan; kejujuran. Integritas Nasional diterjemahkan wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara.
Jika kita memakai batasan definisi Integritas tersebut akan terlihatlah bunyi fals dari dawai gitar integritas kebangsaan kita. Dapatkan bangsa ini memiliki integritas jika kita timbang dari mutu kehidupannya? Keutuhan prinsip moral etiknya? Berwibawakah bangsa ini dengan fenomena sensitivitas konflik sosial yang mudah tersulutkan emosi destruktifnya? Tentu sulit untuk mengukuh tegakkan penilaian bahwa bangsa kita memiliki Integritas yang sehat. Kita harus berani mengakui bahwa Integritas bangsa ini sedang sakit dan perlu di sembuhkan, direvitalisasi.
Kemerdekaan yang kita nikmati ini sesungguhnya bukan datang dari pengertian bebas dari sebentuk “kolonialisme” eksternal, namun kemerdekaan dari bentuk “kolonialisme” internal yakni serangkaian tindakan menyakiti sesama bangsa. Tujuan Negara ini berdiri adalah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan bukan menumpahkan seluruh darah orang Indonesia atau orang yang bermukim di Indonesia.
Quo Vadis Indonesia?
Jika berbagai konflik horisontal dan vertikal di Indonesia terus berlangsung dengan konsep-konsep turunan konfliknya pertanyaan yang krusial adalah mau kemanakah bangsa Indonesia di Tujukan? Dapatkan bangsa ini memenuhi Tujuan Kenegaraannya pengamalan 5 sila, jika nilai-nilai ke-lima sila tersebut mulai mengabur dengan kemunculan berbagai pertikaian, amuk sosial yang cair keberpihakannya sesuai frofit temporer? Semoga Indonesia dapat berefleksi lebih dalam dan muncul dengan kesadaran baru. Pemerintah merupakan Instrumen yang paling berperan (tentunya bukan satu-satunya) dalam mengharmoniskan kembali Atmosfir Kehidupan Kenegaraan kita dengan terlebih dahulu membuktikan dirinya berprinsip, berwibawa dalam tata kelola pemerintahannya.


Yogjakarta 23 April 2010

Kamis, 22 April 2010

The Wrong Person in the vital Place: Mewaspadai profesionalitas, Popularitas Semu PILKADA

BL Padatu

Pemerintahan Daerah di Indonesia sedang melakukan Proses Pemilihan Pimpinan Eksekutif (Birokrat). Sekitar 244 Daerah: 7 Provinsi dan 237 Kabupaten/Kota akan menentukan momentum strategis untuk menetapkan pimpinan Kunci dalam menata-kelola, membangun keberdayaan Daerah. Dikatakan strategis karena menyangkut nasip hajat hidup orang banyak dan secara sistemik kepentingan regeneratif. Strategis karena berkaitan dengan Beban/tanggungjawab kerja yang menuntut keahlian tingkat tinggi. Singkatnya posisi Pimpinan Daerah terkategori jabatan Vital, mengandung resiko tinggi.
Beberapa konsep penting yang berfungsi mengontrol tindakan pemilihan kepala daerah banyak disodorkan kaum pemerhati. Secara filosopis konsep-konsep tersebut terurai dalam istilan “The Right man in the right place” (Pribadi yang benar/tepat di tempat yang benar/tepat). Rupa kekecewaan terhadap terjadinya bias ekspektasi proses kerja kepemimpinan kemudian diperlawankan dengan kemunculan istilah “The wrong man in the wrong place”. Bagi Penulis Istilah tersebut dapat ditingkatkan pada derajat “The Wrong man/person in the Vital place”(Orang/pribadi salah di tempat vital). Makna pengingat yang dikandung dalam ungkapan tersebut sejatinya ingin mensinyalkan atau membagi isyarat bahwa kekeliruan menetapkan Pimpinan Daerah/Kepala daerah dapat berakhir dengan pertaruhan Mahal.
Tingginya nilai strategis Kepala Daerah menjadi bukan hanya posisi tersebut mengandung nilai vitalis, kemampuan menghidupi, namun menunjuk pada adanya harapan publik bahwa pemimpin semestinya memiliki Kapasitas yang juga tinggi. Jadi kedua variabel tersebut; jabatan dan kapasitas pribadi pemimpin linear atau simetris satu dengan lainnya.
Terlepas disadari atau tidaknya dimensi nilai vitalis Kursi kepemimpinan Kepala Daerah, melalui proses pemilihan telah banyak pribadi yang memutuskan memberanikan diri mengemban misi kepemimpinan Daerah. Segala pribadi dengan tipikalitas yang ditopang multi latarbelakang pendidikan, profesi, kultur,dll mendaftarkan diri untuk ditentukan oleh persetujuan publik pemilih.
Rekam jejak Kinerja Kepemimpinan Daerah
Prokontra latarbelakang pemimpin menjadi lahan subur kajian berbagai perspektif untuk mendukung, memagari ruang kebebasan keterpilihan asalan. Indonesia pernah dikepung dengan perdebatan unproduktif dikotomi latarbelakang pemimpin semisal; militer dan sipil, Pengusaha dan non pengusaha, profeisonal dan non profesional,dll. Bagaimana dengan fakta empiris kinerja kepemimpinan mereka?
Laporan yang dikeluarkan Departemen dalam Negeri menyatakan 33 Provensi di Indonesia tidak ada yang menunjukkan kinerja Sangat Tinggi, hanya 9 Kabupaten dan 2 kota yang memiliki kinerja sangat tinggi dari 524 Daerah yang ada (Kompas 17 Des,2009). Begitu juga jika kita telisik dari laporan angka penduduk miskin 2008-2009 tingkat penurunan penduduk miskin hanya ± 1% dari 15.4% turun 14.5% (lihat Jawa Pos 28/2009).Kedua data tersebut jika dianalisis dan dihubungkan dengan korelasi keragaman latarbelakang keseluruhan pemimpin sama sekali tidak menunjukkan adanya pembuktian bahwa seseorang yang memiliki latarbelakang tertentu memiliki peluang keberhasilan memajukan Daerah.Artinya persoalan latarbelakang tidak menjamin seorang pemimpin berhasil. Dengan kata lain seorang pengusaha tidak berpeluang lebih besar berhasil dalam memimpin suatu daerah dibandingkan profesi lainnya. Data diatas belum termasuk ratusan Kepala Daerah di Indonesia yang harus berhadapan dengan akuntabilitas hukum.
Fenomena Popularitas Semu
Sisi lain yang terasa mengganggu untuk dijelaskan adalah adanya keyakinan peserta Pilkada yang melandaskan pada “POPUPARITAS” sebagai kunci emas menangguk suara akar rumput/rakyat banyak. Asumsi ini dibangun dari eforia politik-administratif era desentralisasi dan Otonomi yang memberikan aksentuasi otoritatif kepada rakyat tanpa kuatir bahwa “rakyat” berkemampuan untuk memproblematisasi popularitas mereka dengan kapasitas kepemimpinan yang dimiliki.
Melenggangnya beberapa Artis yang disinyalir terpilih karena Popularitas yang tidak linear dengan bidang tugas atau bidang tanggungjawab, menjadikan Kursi nomer satu di Daerah sebagai permen manis untuk dilumat.
Kita memang belum memiliki hasil-hasil kajian teoritis akademik memadai yang dapat dipakai menjelaskan tingkat keberhasilan kepemimpinan dengan variabel Profesi , popularitas keartisan. Namun kita perlu menunjukkan ruang partisipatif demokratis bagi siapa saja yang benar-benar menyadari bahwa “keterampilan Laut” tentu akan bermasalah jika dipakai di “darat”. Maksudnya Kapasitas ke-Artisan sulit untuk dikorelasikan dengan kemampuan Memimpin. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya kapasitas Ganda para artis; satu pihak memiliki skill keartisan sekaligus Back-up skill kepemimpinan, organisasi,dll.
Tentunya Letupan usulan yang datang dari keprihatinan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menandaskan bahwa fenomena pencalonan beberapa kandidat Pimpinan Daerah oleh beberapa Artis yang marak didiskusikan perlu mendapat penguatan kontrol regulatif. Dimana Kontrol regulasi tersebut mampu menjaga bobot atau kapasitas pimpinan Daerah terpenuhi.
Hal ini juga terkait dengan Kosmetik Popularitas gelar akademik yang ditonjolkan untuk memberikan pencitraan intelektualitas sang Calon meskipun sebatas” kosmetik murah” Gelar yang diperoleh dengan sedikit tingkat pertarungan prilaku akademik; membaca, berpikir, menulis, berdiskusi.
Konteks kepopuleran semestinya tidak terkait label, kulit, termasuk frekwensi dilihat publik. PP No.6 Tahun 2005 Pasal 38 butir h menekankan aspek pengenalan daerah dan dikenal masyarakat Daerah, bukan sebatas kepemilikan KTP. Itu berati konteks popularitas tidak hanya terkait dikenal sebatas alamat, anak siapa, namun benar-benar dikenali oleh Masyarakat luar dalamnya, serta sang kandidat mengenal daerahnya dengan fasih/masif dan bukan mengatakan “tanyakan pada Rumput yang bergoyang” sebagaimana performance Juve dalam diskusi di TV One sebagai salah satu kandidat Kepala Daerah Pacitan.
Popularitas sesungguhnya mengandung dimensi dikenal, disukai (tentu tidak ada masyarakat suka dengan calon yang amoral, kriminal), dikagumi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mudah dipahami (kamus Bahasa Indonesia). Definisi ini jelas menolak konsep popularitas sekedar dikenali.
Dimensi Vitalitas Kepemimpinan Daerah
Vitalitas atau keberdayaan memberi kehidupan terhadap daerah merupakan hal penting yang harus menjadi tolok ukur pemilihan Kepala Daerah kita. Totok ukur tersebut dapat diidentifikasi melalui beberapa indikator seperti kemampuan atau penguasaan historis, geografis, demografis, budaya, teknis dan tentunya Knowledge Pemimpin.
Daerah sebagai basis atau pusat kegiatan ekonomi politik memiliki spektrum pengurusan, penataan dari internal organisasi Birokrasi, meluas masyarakat lokal, Nasional, Internasional (Global), karenanya mengharapkan kursi kepemimpinan Daerah diduduki oleh person yang memiliki kapasitas multi; apektif, psikomotorik, kognitif yang selaras dengan landasan nilai hidup dan Moral masyarakat.
Pertanyaannya, Punyakah Kandidat kita dimensi kapasitas strategis seperti dijelaskan diatas? Seluruh stakeholder Pilkada; Pemerintah, Partai politik, Pemilih, Yang dipilih harus menjawabnya. Hajat:maksud; keinginan; kehendak; kebutuhan/keperluan masyarakat merupakan tujuan dari kepemimpinan Daerah. Waspada Profesionalitas dan Popularitas semu.


Yogjakarta 20 April 2009

Jumat, 09 April 2010

“Big Bang Keterbukaan”

BL Padatu
“Keterbukaan” merupakan sebuah Konsep “Kultural” yang subur dalam ledakan tuntutan “Akuntabilitas Publik” di Era 1998,1999 hingga sekarang terlebih dalam kristalisasi Amandemen UU sistem tata kelola Kenegaraan Kita. Ruang Partisipasi masyarakat menjadi amat terbuka. Segenap persoalan; dari unek-unek di aras nasional, mengerucut ke daerah, masuk secara sensitif di isu-isu domestik meluncur tanpa ragu. Sampaikan! Negara ini milik wong Cilik!
Spirit Keterbukaan seakan-akan meruh begitu bebasnya, lepas tanpa tali kendali anutan Etika-moral. Prinsipnya “teriakkan!” wong Maling saja bisa teriak maling (tutur pengesal).
Dalam dunia Imajiner, seorang Guide Turis merapal diksi-diksi promotif dengan menjual Indonesia sebagai Negeri Terbuka. Terbuka untuk Holiday, Terbuka untuk menanam Investasi, sekaligus terbuka di Celakai (ancaman Bom).
Indonesia dengan ribuan pulau sesungguhnya telah menyatakan bahwa Indonesia benar-benar Negeri seribu pulau yang dijaga dalam sistem pertahanan Terbuka. Sebagai Negara dengan basis pertahanan Kelautan yang Longgar namun memadatkan strategi pertahanan Darat, menjadikan Indonesia sebagai wilayah rentan penyusupan melalui lintas jalur laut.
Di Negeri ini, Keterbukaan telah menjadi Lumrah, dari tindakan membunuh hingga bunuh diri semuanya terbuka. Dulu orang yang membunuh tidak pernah dengan kepercayaan tinggi menceritakan masalahnya, sekarang detil-detilnyapun tersajikan. Waktu lalu orang yang bunuh diri umumnya bersembunyi, menyembunyikan diri,menggantung diri di ruang tertutup. Kini orang bisa terbang bebas di depan ratusan bahkan jutaan mata untuk menyaksikan siaran langsung “Bunuh Diri.” Dulu persoalan perselingkuhan (amoral) merupakan hal yang tabu untuk di publikasikan secara vulgar. Jangan tanya sekarang, rinciannya komplit dalam beberapa acara Reality shownya media TV bangsa ini. Dulu masyarakat kita sangat tertutup dengan keributan rumah tangga, cekcok perebutan harta warisan. Tentu lain dengan sekarang yang telah terbiasa mengumbar aroma permusuhan hingga pertikaian secara terbuka.
Jangan Tanya kalau soal yang dua ini, dua sisi mata uang, Sex dan Politik. Membuka aib, malu, cela,noda, salah orang lain menjadi semacam hoby baru bagi bangsa ini. Siapapun tidak kenal pandang bulu, semua yang melalukan praktek buka-bukaan yang menabrak great norma “ketimuran” bangsa ini tentu harus membayar mahal sepanjang usianya (barangkali). Beberapa politisi, Birokrat di level manapun dilibas dan diseret keruang publik (misal semacam fb) untuk dikupas Dosa-dosanya. Tidak terlepas dengan Rohaniawan-rohniawan, Guru spiritual, dan siapa saja yang bermain-main dengan “Racunnya keterbukaan.”
Sebut saja fenomena Pilkada, siapa berani mencalonkan diri menjadi kepala pemerintahan siap sedialah untuk di “serbu” publik untuk di masuki wilayah pribadinya secara “Vulgar”, tanya berapa kambingnya, sawahnya berapa Hektar, Bini-nya berapa, Duit di Bank apalagi. Juve sang artis terkategori seksi, sesungguhnya adem-adem saja kalau “dibuka-buka” jati dirinya, karena selama ini telah terbiasa membuka yang semestinya tertutup.
Beberapa Pemimpin Tertinggi di negara ini pun tidak lepas dari serangan Kultur “Keterbukaan” yang salah kaprah dan tergopoh-gopoh. SBY dalam catatan sejarah pernah berusaha di”Kuliti” dengan serangan Ber-Istri Ganda. Isu Gurita Cikeas menjadi media usaha membuka sesuatu yang dianggap telah disembunyikan orang nomer satu di Republik ini. Tentu kita akhirnya mengerti siapa yang sesungguhnya “Terbuka” kedoknya.
Pintu Pengadilanpun, Parlemen, Baja pintu kepolisian dengan dorongan yang masif berhasil membuang jauh gembok-gembok kunci ketertutupan. Pernyataan “Buka semuanya biar semua Tahu” telah menjadi senjata pamungkas untuk publik masuk mengontrol isu sejatinya.
Merambahnya iklim keterbukaan pada akhirnya, diujung berita negeri ini telah mengalir dengan daya besar, menyusup, menabrak keangkuhan siapapun, Institusi apapun (si-kebal). Keterbukaan telah menjadi Sunami Maha dasyat untuk menghapus bangunan keyakinan pribadi, institusi apapun di negeri ini untuk tidak lupa bahwa pengadilan tindakan masa lalu di buka untuk diadili pada waktu kekinian.
SBY Terus memberi Instruksi, masuk lebih dalam, buka sampai keakar-akarnya bahkan anak akarnya. PPATK bergeliat menelusuri aliran Dana Rakyat, ngetem di rekening mana saja. Bapaknya, Istrinya, Saudaranya, Anaknya buka semua Account Banknya.
Buka-bukan telah menjadi nyanyian merdu nan Heroik di negeri yang telah lunglai dengan aksi-aksi pengemplangan, penilapan, penggelapan. Inilah Era Buka-bukaan, zaman dimana masyarakatnya belajar berbenah, belajar membangun kultur baru, belajar berharap secara baru, belajar menjaga jarak ideal melakukan fungsi partisipasinya.
Romy R (ahli Hipnotis) sering kali merapal mantra “Masuki tidumu lebih dalam, lebih dalam, semakin dalam.” Tentunya Indonesia memiliki mantra baru, berlawanan dengan apa yang di rapal Romi “Bangun, bangun,berhentilah bermimpi jadi kaya mendadak, bangun-bangun, kerjalah dengan benar, semakin benar, benar dan benar”. Korupsi tidak boleh bersemunyi lebih dalam, ia harud didesak untuk keluar dari dunia para pemimpi (Hedonist destruktif) yang main potong kompas dalam membangun kemakmuran hidupnya. Akuntabilitas Publik sedang mengejarmu!


Yogjajarta 10 April 2010 (Masa Gelisah)

Lompatan Isu Media dan kapasitas solutif Negara

BL Padatu

Kalau Orang bertanya berapa Jumlah Hari satu tahun? Tentu mudah menjawabnya 365 hari. Demikian untuk satu Tahun ada berapa bulan? 12 Bulan. Satu Bulan terdiri berapa hari? Variatif ada 30, 31, 28 hari. Nah jika pertanyaannya dalam Setahun Indonesia memiliki berapa masalah? Ada yang berkelakar Sejuta Masalah sehingga negeri ini dinamakan Negeri sejuta masalah.
Terlepas dari ketepatan argumentasi faktualnya, tentunya kita telah menyimak, media telah mendekatkan banyak persoalan Kenegaraan kita langsung ke ruang-ruang keluarga. Hitungan detik, menit, jam, hari, minggu barisan masalah mengantri untuk “buru tayang”. Sayangnya dalam kapasitas media yang terbatas, media menetapkan kategori-kategori masalah yang close-Up dan berpotensi menaikkan derajat komersialitas, urgensitas, memenuhi hajat hidup majoritas penikmat media TV.
Isu Terorisme dalam kemasan mulai dari penampangan foto, penyergapan, reaksi publik, pengurusan jenazah dan intipan hubungan family, konprensi press, dll. Isu Terorisme digantikan isu-isu lainnya yang tidak kalah dramatis yakni Perkelahian atau tauran antar calon ilmuan (pra perguruan Tinggi dan PT), ditambah gesekan di level Grass rood yang diprovokasi persoalan hak guna, hak kepemilikan Lahan, sengketa unit usaha dagang, ketegangan Pilkada, Bencana alam, tatakelola pemerintahan yang belum mendapatkan design pas mengelola Kebhinekaan Indonesia, Keragaman Kekayaan daerah yang ramai di keroyok dalam ketegangan dikotomi etnik.
Tentunya isu-isu tersebut disisipi dengan tragedi kemanusian; pembunuhan, bunuh diri, prilaku menyimpang anak diusia dini; Bocah perokok, Bocah pemakan sabun, Bocah pemakan daging mentah, entah apa lagi yang akan dimakan.Mungkin Negeri ini sudah tidak punya apa-apa lagi bagi mereka yang termajinal.(tentu faktanya Negeri ini banyak yang bisa dimakan)
Kini Problem atau Isu “Korupsi, Makelar Kasus, pengemplangan pajak, perseteruan Perwira Tinggi di jajaran Polri, telah menggeser dinamika perseteruan ekonomi politik kasus Century Bank serta disharmonisnya konstelasi Koalisi politik.
Indonesia hari ini terus menanti perguliran bola salju isu Makelar Kasus,mengurai gurita kasus-kasus yang meng-increase kemakmuran individu, kelompok dan meng-decrease kesejahteraan pemiliki kedaulatan Kesejahteraan yakni Rakyat.
“Pajak” di media massa dan cetak menjadi strategic key untuk mempelototi adanya konstruk permanen bias pemanfaatan Pajak sebagai sumber strategis penerimaan negara. Digerogotinya nilai keharusan pajak oleh Oknum penjaga moral hukum yang kehilangan orientasi moralnya telah mereduksi kepercayaan masyarakat untuk memiliki kepatuhan dalam membayar pajak. Selogan “Orang Pintar bayar Pajak” yang pernah menjadi selogan filosofis telah didekonstruksi kearah penyebutan istilah khusus nan negatif yakni “Orang Pintar, bajak pajak”, “Orang Luar bayar pajak, Orang dalam “pajakin pajak.” Entah bagaimana nasip lebih dari Rp. 571,1 T (data 2008) pungutan Negara sektor pajak ini? Perlu diketahui penerimaan sektor pajak berkonstribusi sekitar 70 % dari penerimaan Keuangan Negara.
Isu Pajak telah berubah menjadi entry Point perjalanan panjang usaha memberantas Mafioso di Negeri Ini. Semua institusi yang berhubungan secara strukturan menjadi incaran bukan hanya Satgas bentukan Presiden SBY namun oleh publik yang sangat bersemangat menghancurkan “Gerombolan” pencuri Harta Rakyat.
Sebut saja Satgas, sangat dibuat sibuk oleh detail-detail aktivitas penerimaan laporan, analisis laporan, kordinasi laporan, rekomendasi, laporan ke publik termasuk ke SBY. Belum lagi tanggung jawab Kapolri sendiri dalam menyikapi anak panah penuntasan Mafia Hukum yang bersarang di tubuh institusi mereka sendiri, termasuk institusi kejaksaan, kehakiman. Seolah-olah dibuat bingung dengan logika Jerus makan jeruk. Menangkap diri sendiri, mengusut diri sendiri, bahkan bisa jadi akan memenjarakan diri sendiri. Belum selesai menangani masalah satu yang juga mengaitkan keterlibatan internal di berbagai Institusi penegakan hukum, masalah kedua, ketiga bermunculan bak jamur dimusim hujan.
Betapa Tidak, parahnya pelanggaran fungsi atau kewenangan, telah menjadikan institusi-institusi penegak hukum “jamuran dengan isu-isu korupsi” dengan kondisi ini sulit untuk meyakini bahwa Institusi penegak hukum memiliki enerji atau kapasitas memadai untuk melakukan gerakan-gerakan kolosal memberantas korupsi.
Bagaimana dengan parlemen kita? Punyakah mereka kapasitas besar untuk menyelesaikan multi kasus di negara kita terlebih ditengah dinamika pengunggulan kepentingan pragmatis-idealis partai pengusung mereka? Hal ini juga ditambah dengan “keraguan” sejumlah praktisi ke-Ilmuan yan sering kali mendapatkan anggota parlement keliru dalam memahami substansi persoalan. Misalkan dengan kasus terbaru ketika DPR (komisi III) ramai berdebat soal pakaian kedinasan Susno, Asas pelanggaran praduga tak bersalah. Sementara lupa bahwa DPR adalah lembaga Politik dan bukan lembaga Hukum yang sesungguhnya memiliki sistem proteksi yang sulit diingkar yakni sistem “Imunitas” DPR.
Menyiasati terbatasnya Multi kapasitas penegak hukum di Negara ini, tentunya strategi memburu “Koruptor-Koruptor Kakap” mesti menjadi Isu Krusial. Negara ini harus menyatakan Siaga satu terhadap usaha-usaha yang sedang digulirkan dalam perburuan ini. Seluruh element penegak kokohnya bangsa ini (Baik Pemerintah dan NGO, Masyarakat luas) bergiat diri melakukan usaha-usaha strategis mensupport penegak hukum kita untuk melakukan perburuan besar. Jika Runtuhnya Dinasti para “Jendral” di Negeri ini telah menjadi fakta sejarah, ini merupakan momentum untuk terus melakukan penggandaan aksi praktis dan strategis.
Negara ini sedang membutuhkan “Kapasitas” besar untuk menuntaskan problem kenegaraan yang juga Besar. Mari kita Nantikan Indonesia di hari depan, kejutan apa lagi yang mengisi lembaran Isu-isu di media kita.

Yogjakarta 9 April 2009

Senin, 25 Januari 2010

Pendidikan politik:Berdialog dengan Realitas sosial di dalam buku

Oleh: BL Padatu

John Dewey menggagas bahwa kegagalan dalam memandang situasi kongkrit merupakan “kejahatan” dalam pendidikan.Proses berpendidikan, baik dalam spektrum yang digali secara formal maupun informal, paling tidak merupakan sebuah design yang dibangun dalam suatu bingkai berkesadaran serta berkemampuan bukan saja sebatas mengerti apa yang divisualkan di level permukaan realitas.Lebih dari sekedar,namun menembus batas terdalam secara esensial untuk berkonstribusi mengangkat penyingkapan realitas sebenarnya. Para penulis, dalam berbagai karya intelektualnya senantiasa terinspirasi memotret fenomena sosial yang mengitari perjalanan kehidupan sebuah masyarakat, bangsa kemudian dalam letupan idealisme meramu dan bergegas menyajikan totalitas amatannya sebagai sebuat konstruksi realitas yang oleh publik dapat diterima validitasnya sebagai sebuah hipotesis realitas sosial.
Seorang penulis bergenre realisme senantiasa dituntut mendemonstrasikan moral, konstruksi nilai ketulusan dan kejujuran menyingkapkan kebenaran realitas yang oleh sebagian besar publik tidak berkemampuan menggali dan menemukan realitas tersembunyi dari realitas tampak. Dalam kegigihan kerja penulis,menurut tesis Georg Lukacs,1989,para penulis realis senantiasa berhadapan dalam arus ketegangan antara komitmen kemerdekaan manusia disatu pihak dan tipikalitas kehidupan yang digerakkan oleh kesadaran palsu yang diciptakan oleh suatu sistem kekuasaan;dari ekonomi sampai politik (Ibe Karyanto,1997).
Goerge Junus Adittjondro,John Roosa,achdiat Kartamihardja,Darmawan,dll (kompas 9/1/’10) merupakan sederetan pribadi dari banyaknya pribadi-pribadi sejenis yang membawa diri mereka memasuki lingkungan kekuasaan pemerintah pada masa tertentu, mempublikasikan kemerdekaan mengungkap realisme sosial politik bukan sebatas gugusan ideograf (agan-agan semu) namun ditawarkan sebagai sebuah formulasi konstruk sosial ideologis dengan respon konsensus publik.Artinya Seorang penulis realis merupakan parsialitas realitas sosial politik yang membutuhkan justifikasi publik pembacanya melalui mekanisme legalis.Sepanjang konsensus penulis dan publik pembaca tidak inpart satu sama lainnya maka relitas sosial yang diperlihatkan tidak dapat diterima nilai atau esensi kebenarannya.
Publik politik, diharapkan jauh dari praktek hegemoni realitas kebenaran. Kebenaran tidak dapat diklaim, dibandrol dengan sensoritas melalui pendekatan “kekuasaan” semata,transparansi realitas sebaik dan seharusnya meruh kedalam tatanan pemerintahan yang baik, pemerintahan sipil,paling tidak menjadi Pemerintahan realis.
Penerapan pemerintahan tak terbatas(absolut), dalam kasus pelarangan karya intelektual/tulisan,menjadi antitesi dengan tatakelola pemerintahan terbatas.Pemerintah atau penguasa merupakan perwujutan real dari kehendak real masyarakat, protektor kebebasan masyarakat.Pemerintah diharapkan cerdas dalam menata intervensi atas nama apapun, turut mengkalkulasi opini publik sebagai stakeholder “Kuasa.”
Tentu kita berharap, baik penulis maupun Pemerintah tidak berperan melampaui hak dan kewajibannya (vested interest).Penulis dan Pemerintah bersimbiosis dalam menegakkan kedaulatan negara dalam praksis penegakan kedaulatan kehendak umum Rakyat.
Realitas kenegaraan(sosial politik) dalam konstruk buku dapat dipandang sebagai tatanan kenegaraan yang dilimitasi eksistensi dunia buku itu sendiri.Segenap persoalan yang dilepaskan dalam dunia buku sebaiknya ditanggapi dalam dunia buku.Menanggap persoalan realitas yang dibeberkan dalam buku ke luar dari “kedaulatan teritorial buku” mendekati penolakan adagium “Persoalan di laut jangan dibawa-bawa ke darat”, “ikan tidak dapat bernafas di langit-langit” Problematisasi pencemaran nama baik dan sebanyak keberatan apapun dalam konflik penulisan buku, realitas yang dipersoalkan, akan menggaransi proporsionalitas dialog kebenaran bila difasilitasi dalam perdebatan cerdas di dalam dunia buku.Buku dijawab dengan buku.Pembaca buku adalah “hakim” sementara hingga keluarnya rekomendasi institusi hukum berwenang.Negara kita adalah negara hukum yang dapat menjemput siapapun yang menangguk kepentingan diatas “pencurian hak” orang lain,termasuk hak menjaga nama baik dan kehormatan diri.
Persamaan simetrinya buku dilawan dengan buku dapat dipelajari dari produk media parodi politik “Republik Mimpi” dengan mengkonstruk persoalan real ke-Indonesiaan namun dikonseptualisasikan sebagai “negara Tetangga/negara bayangan.”Persoalan sekarang yang perlu untuk dikerjakan dalam menjembatani keresahan-keresahan yang dimunculkan dari polemik reproduksi realitas dalam buku adalah bagaimana melakukan pendidikan politik bagi publik pembaca untuk memahami setuntasnya, seidealnya bahwa konstruksi realitas dalam dunia buku bukan sama dengan “benar.” Semua buku pada dasarnya merupakan basis argumentasi berkadar “hipotesis.” Publik harus dibuat mengerti bahwa penulisan sebuah buku merupakan upaya menjalin, menafsir berbagai fenomena atau kenyataan yang mengitari lingkungan sosial, kemudian di hadirkan untuk di perdebatkan kebenarannya hingga mencapai konsensus yang mutlak bahwa sesuatu yang dituliskan berkadar kebenaran rendah, tinggi, hingga titik ekstrim produk imajiner (hayalan).
Menarik kembali tesis john Dewey bahwa konstruk pendidikan yang gagal membuat masyarakat didiknya kesulitan memahami realitas kongkrit (dipersulit), merupakan sebuah tindakan kejahatan. Masyarakat pembaca yang oleh multi mekanisme sistem pendidikan yang beroperasi dimasyarakat gagal mengantar masyarakat menemukan dan memahami kebenaran objektif menjadikan multi sistem pendidikan tersebut sebagai oknum jahat.Baik pemerintah maupun para penulis merupakan entitas yang memiliki kedudukan yang sama,bertanggungjawab, dalam hal memfasilitasi masyarakat untuk belajar menemukan realitas objektif(sosial politik).
Buku merupakan salah satu media pendidikan yang akan menjadikan publik pembacanya sebagai insan yang akan menerima pembelajaran mengenai konstruksi kebenaran objektif.Jika pihak yang melakukan pembelajaran lewat buku gagal menghadirkan realitas objektif sebagai bahan dasar konstruk kebenaran yang diidealkannya maka pertanyaan siapa “penjahatnya” akan menjadi jelas bagi kita semua,yakni penulisnya. Namun jika realitas kebenaran yang diudargagaskan penulis mampu meyakinkan publik tentang adanya realitas kebenaran yang dieliminir namun dicegah kehadirannya maka kitapun akan tahu siapah tokoh “jahatnya.” Pembaca bukupun tidak terlepas dari sematan peran “penjahat” bila mana bersepakat mimihak tanpa terlibat secara aktif, terlebih membangun realitas tertentu tidak berdasarkan data-data mutlak,publik pembacapun dapat dikategorikan sebagai “penjahat.”
Sebagai proses pendidikan berpolitik, berdialog dengan realitas di dalam buku harus digiatkan.Publik pembaca diajak untuk berespon dengan kultur berbeda terhadap realitas yang tampil didalam buku dengan realitas di luar buku. Publik pembaca (penulis,masyarakat,pemerintah) diarahkan untuk menjadikan buku sebatas wacana,isu yang tidak memiliki kekuatan menjustifikasi terlebih melegitimasi realitas objektif.Dengan demikian fenomena membredel buku, memasung panggilan intelektual dapat kita posisikan secara elegan.Penting untuk ditegaskan disini bahwa Penulis adalah pribadi yang mengerti posisinya dihadapan hukum,sekaligus mengerti bahayanya jika mengkonstruksi realitas semu.Sama halnya George Junus Adittjondro menyadari sedang ”bermain-main dengan bencana,” dan ia mungkin menuliskannya dengan meyakini bahwa realitas sosial bukunya adalah realitas objektif sehingga semestinya ia dapat bebas dari jeratan hukum. Publik satu sisi harus menimbang bahwa Goerge mencoba melampaui ketakutan terhadap “hidupnya” dan menjangkau realitas objektif guna ditawarkan untuk di nilai oleh publik, pada sisi lain Publik juga harus respek terhadap adanya pribadi-pribadi yang ditempatkan pada situasi “berbahaya” jika realitas yang dikonstruksikan penulis jauh dari fakta mutlak/sebenarnya.Karenanya baik penulis, yang dituliskan harus sama-sama kita pandang dalam bingkai berpikir maha-positif,Hukum akan memediasi mereka untuk memperoleh hak-haknya.

Yogjakarta 8 januari 2010

Rabu, 13 Januari 2010

“DEMOKRASI SETENGAH TIANG”

BL Padatu

“Untuk membaca apakah sebuah Negara sedang berduka teramat mudah untuk dilakukan yakni semuda melihat kibaran bendera merah putih yang dikibarkan setengan tiang sebagai simbol duka negara.” Dimanapun, di halaman perkantoran, rumah-rumah biasa,di jalan-jalan protokol, di pasar-pasar,keberadaan bendera setengah tiang dipahami dalam bingkai pemahaman narasi kedukaan.
Demokrasi berduka
Belum lama satu simbolikum dukacita bagi bangsa kita dipatri dalam seruan kerekan bendera merah Putih setengah tiang bagi “Bapak Bangsa” (alm.K.H Abdulrahman Wahid). Kepergiannya merupakan sebuah ironi diantara ode(syair/lirik pujian) dan elegi (syair duka). Draf atau usulan penyematan gelar sebagai pengabdi bangsa ini ramai didiskusikan untuk mengkristalisasikan sepak terjang beliau dipentas kehidupan berbangsa dan bernegara.Mampukah konstruktor gelar merangkum kiprah ke-multidimensionalan kedalam sebuah pilihan diksi yang tidak membuka ruang tercecernya nilai-nilai perjuangannya sebagai pejuang kemanusaian, pluralisme, demokrasi,wong cilik,dll.Semoga pilihan penyebutan gelar mampu mengakomudir kesegenapan perjuangan beliau dan tidak terkecilkan dalam kesalahan Malapropism (ketidak tepatan memilih kata/gelar).
Diluar hiruk-pikuknya usulan-usulan penghargaan bagi K.H.Abdulrahman Wahid,berkibarnya bendera setengah tiang seolah-olah sedang menceritakan kepada bangsa kita (meluas skala Internasional) bahwa perjalanan berdemokrasi di Tanah air kita linear dengan kibaran setengah tiang.Teriakan histeris Indonesia berdemokrasi/Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia jauh melampaui atau melompati perjalanan sebuah realitas praksis. Bendera Demokrasi kita masih tertinggal,berkibar dibelakang retorika politis tentang Negara Demokrasi yang menjauh dari logika konseptual “demokrasi.”sampai hari ini kita dibingungkan dengan berbagai manuver atau lompatan logika berdemokrasi ala Indonesia. Jika hari Gus Dur disemayamkan dengan iringan hujan syair “kepahlawanan” tentu masih segar dibenak kita bagaimana “Indonesia” menodongkan “Senjatanya” memaksa Gus Dur keluar dari Istana Kepresidenan dengan “Celana setengah tiang.”
Jika kita mencarikan fenomena lainnya betapa demokrasi di Indonesia tidak pernah mencapai realitas kepenuhan maknanya tentulah tidak sulit melakukannya atau menunjukkannya. Sebut saja pristiwa “peti mati demokrasi” sebuah kekerasan perjuangan berdemokrasi (matinya salah satu ketua DPRD di negeri ini/korban),sebuah riak pesta demokrasi yang bablas mankna kesejatiannya,berniat menghidupkan sesuatu namun sisi lain menyebabkan kematian bagi yang lain.
Susilo Bambang Yudoyono, dalam kapasitasnya sebagai Presiden yang terpilih melalui momentum pemilu yang demokratis, kini merupakan potret anomali proses berdemokrasi.Sulit untuk memahami sebuah fenomena penderaan proses politik pada kurun waktu belakangan terhadap kepemimpinan orang nomer satu di republik ini.Dapatkah kita mengabaikan barisan fakta sokongan majority “one man one vote” dalam pemilu 2009.Dimana kita dapat mencarikan basis argumentasi pengingkaran suara pilihan yang teramat cepat “dianggap berbalik” menyerang “pilihan mereka”sendiri.Apakah benar rakyat banyak yang berbaris dibelakang pemerintahannya melalui proses pemilihan telak sebegitu cepat menarik dukungan mereka diatas tabuhan gendang politis.Apakah rakyat atau konstituen SBY telah ikut menari dalam “tabuhan gendang senayan?”dan melupakan biaya demokrasi kita? Pada titik ini defisitkah proses berdemokrasi kita?
Akhir-akhir ini hiruk pikuknya wacana perlawanan menegakkan dan mengibarkan bendera demokrasi secara penuh kepuncak tiang kehidupan berbangsa dan bernegara juga diwarnai oleh guratan upaya-upaya untuk menafsir ulang emiksasi (pemaknaan) demokrasi yang pas bagi Indonesia melalui aksi sensor kejaksaan Agung terhadap karya-karya intelektual anak bangsa(kompas 5/1/2010). Sensorisasi karya intelektual seakan-akan ingin memperagakan sikap “seolah demokratis” dengan memberi ruang kebebasan berpendapat yang sependapat dengan “pemerintah berkuasa.”Bagaimana nasip seorang Goerge Junus Aditdjondro beserta bukunya “Membongkar Gurita Cikeas” apakah akan menjadi momentum pembongkaran ulang atau redefinisi berdemokrasi di Indonesia?
Demokrasi, politik dan harapan publik
Walaupun kita tidak mengklasifikasi fenomena sandungan krikil demokrasi seperti digambarkan beberapa contoh kecil diatas kedalam kriteria “great disruption” (kekacauan/gangguan besar),paling tidak sikap mawas dan reaktif terhadap gangguan berskala kecil “small disruption”(gangguan kecil) namun berpotensi contagion (sistemik/pengaruh buruk) perlu untuk senantiasa disiagakan.
Perjalanan berdemokrasi di Indonesia (bahkan di dunia) memang jauh dari titik kulminasi pencapaian kesempurnaan nilai ideologisnya. Paling tidak proses demokrasi perlu dikontrol dan senantiasa dihidupi menjauhi proses pembalikan ke kutub“ziarah” dimana nilai-nilai kemerdekaan hak dikembalikan kedalam pasungan, kedalam kubangan dehumanisasi segala bidang.Perjuangan menegakkan, menaikan bendera demokrasi melampaui posisi setengah tiang sebisa mungkin melawan anggapan perjuangan demokrasi di Indonesia merupakan “perjuangan setengah hati.” Mewujudkan demokrasi semestinya bergerak menjauhi kutub negatif dan perlahan namun pasti mendekati kutub positif serta tidak boleh berada pada titik diantara dua kutub tersebut yang berari “Nol” tidak bergerak atau stagnan.
Wajah demokrasi di Indonesia sebaiknya kembali pada spirit etika ketimuran kita(politik santun), ruh pemerdekaan yang bersumber dari warisan kebulatan historis berdirinya Indonesia Raya. Politik sebagai salah satu instrumen pengelolaan bernegara hendaknya tidak menjadi atau dijadikan suprasistem yang menahan kibaran bendera demokrasi setengah tiang hanya sebatas bermakna “Dukacita” bukan sebagai sebuah perjalanan kejayaan berdemokrasi yang sedang berada di tiang tengah dan segera bergerak mencapai kedaulatannya. Proses berpolitik seyogyanya manunggal dengan proses berdemokrasi secara praksis bukan retoris.Pada akhirnya proses demokrasi dapat dipandang sebagai penegakan Pemerintahan Sipil yang berdikdaya.Penegasan John Locke menjadi agenda penting dalam mengkampanyekan “KUASA itu milik RAKYAT”, karenanya tidak ada “tahkta” yang diperebutkan dalam pemerintahan rakyat, melainkan dipercayakan serta didistribusikan bagi mayoritas kesejahteraan rakyat.
Kasus Bank Century akan menjadi batu uji berdemokrasi untuk kesekian kalinya, dimana rakyat sesungguhnya sedang menanti, masih sabar memberikan kepercayaan kepada wakilnya untuk mengelola problem century untuk memenangkan kepentingan rakyat dan bukan mempertentangkan kepentingan antar rakyat secara destruktif(terlepas apapun hasilnya).
Sesuatu yang tidak dapat kita hindari atau pisahkan dari proses politik di negara kita adalah memperjuangkan pengelolaan “kuasa sebagai milik rakyat” tanpa harus terjebak dalam tuntunan definitif dari hakikat politik yang berusaha menjawab pertanyaan Lasswell(1993) “siapa mendapatka apa, kapan dan bagaimana?” seolah-olah ada kepentingan lain yang memaksakan diri masuk dalam pemetaan “stakeholder kuasa”. “ Siapa” seharusnya tegas bermakna “rakyat” bukan Partai politik atau politisi ataupun kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Proses politik semestinya resisten terhadap gagasan design peta konflik, konflik murni yang memperhadapkan masing-masing antara sini melawan sana (Schmit 1976), mereka habis atau kita!
Gagasan tentang “fenomena demokrasi setengah tiang” semestinya merupakan perlambangan kegagahan memperjuangkan semangat kebersamaan progresif bukan sebaliknya sebuah syair elegi yang mendekomposisi nilai-nilai kesederajatan, persamaan hak hingga terposisikan sebagai kepingan-kepingan terpisah , melemah hingga demokrasi kehilangan vitalitasnya. Paling tidak gagasan res republica yang dilandaskan sejak jaman romawi kuno menyangkut “ikatan-katan dan komitmen bersama antara orang-orang yang tidak memiliki ikatan keluarga maupun hubungan secara personal’(Sennett 1978) menyimpulkan adanya harapan publik bahwasanya proses politik (politik itu sendiri) menjadi tools pemberdaya tujuan berbangsa dan bernegara tanpa dicederai oleh kontestasi politik destruktif.

Yogjakarta 6 januari 2009