Senin, 28 Juni 2010

Apa itu sikap (sebuah definisi)




BL Padatu

Oxford Learner’s pocket Dictionary new edition memberi definisi sikap mengarah pada makna prilaku. Sikap (attitude) is way of thinking or behaving.(Oxford University press,2005).Menurut Bimo Walgito (2002:109) pengertian sikap dapat didefinisikan secara beragam sebanyak definisi para ahli. Beberapa diantaranya Thurstone, seperti dikutip Edwards,1957:2,
“An attitude as the degree of positive or negative affect associated with some psychological object.By psychological Thurstone means any symbol, phrase, slogal, person, institution, ideal, or idea, toward which people can differ with respect to positive or negative affect”.
Dari batasan tersebut dapat dikemukakan bahwa Thurstone memandang sikap sebagai suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negative dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang positif, yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negative adalah afeksi yang tidak menyenangkan.Dengan demikian objek dapat menimbulkan berbagai-bagai macam sikap, dapat menimbulkan berbagai-bagai macam tingkatan afeksi pada seseorang. Thurstone melihat sikap hanya sebagai tingkatan afeksi saja, belum mengkaitkan sikap dengan prilaku.Dengan kata lain dapat diketemukan bahwa Thurstone secara eksplisit melihat sikap hanya mengandung komponen afeksi semata.
Newcomb (1965) memberikan pengertian sikap sebagai:
“From a cognitive point of view, then, an attitude represent an organization of valenced cognitions. From a motivational point of view, an attitude represents a state of readiness for motive arousal.”
Dari batasan tersebut, Newcom, mencoba menghubungkan sikap dengan komponen kognitif dan komponen konatif. Namun komponen afektif justru tidak Nampak, sebagaimana yang dimunculkan oleh Thurstone.
Pada bagian lain Rokeach (1968) memberikan pengertian tentang sikap sebagai berikut: “An attitude is a relatively enduring Organization of beliefs around an object or situation predisposing one to respond in some preferential manner” Dalam pengertian ini pengertian sikap telah terkandung komponen kognitif dan juga komponen konatif, yaitu sikap merupakan predisposing untuk merespon, untuk berprilaku. Ini berarti sikap berkaitan dengan prilaku, sikap merupakan predisposisi untuk berbuat atau berprilaku.
Baron dan Byrne (1984), mengutip pendapat dari Eagly dan Himmelfarb, serta pendapat dari rajecki mengatakan “Specifically, they define attitude as relatively lasting cluster of feelings, beliefs, and behavior tendencies directed toward specific person, ideas, objects, or groups”. Myers(1983) berpendapat bahwa sikap merupakan “A predisposition towards some object;includes one’s beliefs, feelings, and behavior tendencies concerning the object”.
Jalaludin Rakhmat (2000:39), memberikan simpulan tentang sikap sebagai pertama, kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukanlah prilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berprilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Jadi, pada kenyataannnya tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Sikap haruslah diikuti oleh kata “terhadap”, atau “pada” objek sikap. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak diingini, apa yang harus dihindari (Sherif dan Sherif, 1956:489, dalam Jalaluddin Rakhmat,2000:40). Ketiga, sikap relatif menetap. Berbagai studi menunjukkan bahwa sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan. Ke-empat, sikap mengandung aspek evaluative: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan, sehingga muncul definisi sederhana “Attitudes are likes and dislikes.” Kelima, sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.
Dari batasan tersebut diatas, pengertian sikap telah mengandung komponen kognitif (beliefs), komponen afektif (feelings), dan komponen konatif (behavior tendencies). Gerungan (1966) memberikan pengertian sikap sebagai berikut:
“Pengertian attitude dapat kita terjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi. Jadi attitude itu lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal”.
Dari batasan ini juga dapat dikemukakan bahwa sikap mengandung komponen kognitif, komponen afektif, dan juga komponen konatif, yaitu merupakan kesediaan untuk bertindak atau berprilaku.
Dari bermacam-macam pendapat tersebut dapatlah ditarik suatu pendapat bahwa “sikap itu merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relative ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berprilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya. Menurut penulis Sikap dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai sebuah cara berpikir atau berprilaku.
Ambar Teguh Sulistiyani,2008:30, menyatakan bahwa ada satu kesulitan untuk memberikan pembedaan atau pemisahan antara sikap dengan perilaku. Karena seringkali prilaku merupakan bentuk visual dari sikap. Sikap ibaratnya merupakan keputusan batiniah sedangkan perilaku merupakan resonasi dari keputusan tersebut. Sebelumnya Sulistiyani mengatakan bahwa sikap merupakan bagian penting yang dapat mencirikan perbedaan antar individu. Variasi sikap seseorang dalam organisasi dapat diamati melalui respon terhadap suatu hal. Misalnya sikap keterbukaan, sikap disiplin, sikap kepatuhan, sikap kooperatif, merupakan bentuk respon atas suatu ketentuan atau peristiwa atau perintah. Sikap hanya dapat dibaca dari bahasa tubuh, tutur kata, atau prilaku atau perbuatan. Dalam organisasi cenderung potensial untuk terjadinya perbedaan karena sikap yang berbeda. Ada anak buah yang sangat patuh, tetapi ada yang sangat malas. Ada anak buah yang sangat patuh, tetapi ada yang membangkang, ada yang sangat mudah untuk diajak diskusi secara terbuka berpendapat, tetapi ada yang lebih suka bergunjing di belakang, dst. Pada tulisan lainnya ambar Teguh dan Rosidah (2003:61), menyatakan bahwa sikap lebih mengekspresikan bagaimana manusia ditempatkan atau diletakkan pada tempat yang bernilai atau terhormat, dipandang berharga. Dalam kontek contoh komunikasi pemimpin, peranan sikap dapat digambarkan sejauhmana pimpinan memperlakukan bawahan dalam komunikasi baik secara formal maupun secara non formal. Apakah prilaku dalam berkomunikasi menunjukkan adanya keterlibatan emosional, dalam pengertian ada penjiwaan secara baik? Apakah dalam berkomunikasi senantiasa menjaga nilai-nilai egaliter dan equality sebagai sesama manusia?
Kamus besar bahasa Indonesia (2005) juga memberikan jabaran definitive berkenaan dengan batasan sikap sebagai perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan; prilaku atau gerak-gerik.
Dapat dicontohkan penggunaan sikap yang menunjuk pada prilaku misalkan, Lembaga Administrasi Negara (LAN) Tahun 1997 dalam H.Darmakusuma (2002:3), mengatakan bahwa munculnya persepsi negatif dari masyarakat tentang kinerja aparat birokrasi, disebabkan oleh sikap atau perilaku yang kurang baik dari oknum aparat pelaksana. Persepsi demikian tidak saja meninggalkan kesan dan dampak tidak baik bagi masyarakat, namun berdampak langsung pada pelaku-pelaku internal aparatur yang mengkondisikan ketiadaan sosok pemimpin yang secara tidak langsung menjadi “teladan” atau “merek” pembelajaran” kepemimpinan.
Berdasarkan pada deskripsi tentang aspek sikap yang terkesan dualis,maka penulis mengambil posisi dan menyimpulkan untuk menerima pemberlakuan sikap sebagai prilaku seseorang yang termanifestasikan dalam prilaku seseorang yang dapat dibaca, didengar, dirasakan, dilihat,dll. Karenanya dalam menjelaskan sikap pemimpin dalam berkomunikasi maka tidak dapat dihindarkan untuk memaksudkan bahwa sikap memiliki keberartian yang kongruen atau sebagun.

Minggu, 20 Juni 2010

Isu Strategis Kaderisasi kepemimpinan


Oleh BL Padatu

Kebutuhan atau kehadiran sosok pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan sebuah agenda mendesak dan dapat dikatakan hingga pada level krisis dan kritis yang tidak dapat diabaikan atau dikesampingkan. Kehadiran seorang pemimpin dinilai menjadi penanda pasti yang dapat mengkalkulasi secara dini tingkat prospeksi keberhasilan capaian misi dan visi organisasi. Melalui peran strategis kerja pemimpin sebuah organisasi dapat mengabstraksikan atau mengaplikasikan agenda kerjanya dengan jauh lebih terstruktur, dinamis, terarah dan dapat diukur atau diprediksi tingkat keberhasilan capaiannya dibandingkan dengan ketidakhadiran seorang pemimpin. Sayangnya keberadaan seorang pemimpin sejati atau sesungguhnya merupakan fenomena yang langka. Berbagai organisasi baik disektor private, terlebih khusus di organisasi publik didera sebuah fenomena krisis ketersediaan sosok pemimpin. Sebut saja misalkan dalam konteks suksesi kepemimpinan tingkat Nasional, Indonesia memasuki babakan wacana akan krisis kader-kader kepemimpinan yang dianggap sosok strategis yang ekspektasikan mendrive berbagai perubahan-perubahan signifikan bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Belakangan ini fenomena Artis berburu posisi kepemimpinan (belakangan dikuti oleh profesi-profesi lainnya tanpa mempedulikan kompetensi yang dimiliki) disinyalemenkan sebagai penanda pasti sekaligus kegagapan masyarakat atau keputusasaan, bahkan dapat dikatakan kebingungan masyarakat (jika tidak dikatakan ketidak tahuan masyarakat) siapa sesungguhnya pemimpin itu. Lompatan-lompatan politik para artis (dan beberapa bidang-bidang lainnya) dianggap beberapa kelompok masyarakat sebagai wujud betapa Indonesia yang kita cintai mengalami kursi kosong pemimpin yang dipaksakan dapat diisikan oleh siapa saja yang dapat merebut simpati masyarakat tanpa harus diperhadapkan pada suatu tuntutan pemahaman eksistensi pemimpin.
Apabila dicoba untuk diruntut atau distruktur kembali fenomena krisis kepemimpinan, maka dapat dimunculkan beberapa tesis sederhana berkenaan dengan faktor-faktor kausalitasnya mengapa Indonesia atau setiap organisasi dilanda krisis kehadiran seorang pemimpin. Salah seorang pengamat kepemimpinan mensinyalir bahwa problem kepemimpinan berakar pada hilangnya visi pembangunan bangsa dan Negara. Ia mengatakan bahwa :
“Persoalan terbesar Indonesia saat ini bukan masalah mentalitas dan moralitas pejabat, pemimpin politik, anggota DPR, pengusaha dan masyarakat.Juga bukan menyangkut korupsi atau buruknya masalah hokum. Persoalan terbesar sekarang lebih mendasar daripada hal-hal disebutkan diatas, yang semuanya cenderung merupakan derivasi (turunan) daripada satu hal yang sangat fundamental, yakni:arah dan masa depan bangsa ini sendiri. Where do we really want to go?” (Tobing,2006. dalam Erwan Purwanto,2006).
Terhadap argumentasi diatas, Erwan Agus Purwanto,2006, mengatakan bahwa sinyalemen tersebut menunjukkan secara gamblang bahwa saat ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan pada birokrasi publik kita.Hal ini berkaitan dengan peran pemimpin sebagai driver masa depan sebuah organisasi, seorang visioner. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa ada krisis kepemimpinan pada birokrasi publik kita? Bukankah di Indonesia ada puluhan menteri, ratusan dirjen, dan ribuan pejabat eselon satu sampai empat yang boleh dikategorikan sebagai pemimpin karena mereka menduduki jabatan struktural? Pertanyaan seperti ini menurutnya wajar dan tidak salah.Persoalannya adalah apakah para pejabat eselon tersebut telah menyadari dirinya sebenarnya sebagai seorang pemimpin ataukah mereka hanya mendudukkan dirinya sebagai manajer.
Pada kasus yang lain, secara Lebih panjang lebar dijelaskan bahwa krisis kepemimpinan dapat juga disebabkan mandeknya atau terputusnya kaderisasi kepemimpinan didalam setiap organisasi bersangkutan. Organisasi baik secara sadar atau tidak mematikan kran-kran kaderisasi kepemimpinan yang seharusnya menjadi perhatian berkesinambungan. Dari ketidak tahuan bagaimana menstruktur atau mengarsiteki kelahiran seorang pemimpin, keengganan karena berkaitan dengan cost yang tinggi, juga berkaitan pada tindakan politisasi sempit untuk menghindarkan diri dari kehadiran pemimpin baru yang mengancam posisi pemimpin sebelumnya, hingga pada tidak adanya figur-figur yang secara etik-moral-profesional yang menjadi figur-figur “benchmarking” akan sosok ideal pemimpin.
Kaderisasi kepemimpinan merupakan isu penting dalam organisasi publik, atau organisasi manapun. Kaderisasi merupakan suatu proses untuk menghadirkan atau menyiapkan regenerasi kepemimpinan yang siap untuk mengambil alih atau menindaklanjuti kerja kepemimpinan. Kaderisasi kepemimpinan merupakan suatu proses transfer seperangkat kecakapan kepemimpinan terdahulu kepada penerusnya hingga mencapai level keberfungsian yang sama bahkan dapat cenderung melebihi pemimpin pendahulu.
Dalam alur kaderisasi kepemimpinan dikenal dua jalur, yakni jalur formal dan jalur informal. Jalur formal umumnya melalui proses pendidikan terencana, penstrukturalan jenjang karir kepemimpinan yang sistmatis,dll. Sedangkan Jalur informal(internal) merupakan jalur yang tidak melalui proses-proses sebagaimana jalur formal (jalur ini masih belum banyak mendapat perhatian serius). Umumnya jalur informal bergerak dari kesadaran bawahan untuk menstruktur kecakapan kepemimpinan secara mandiri, terlepas dari usaha-usaha sistematis yang dilakukan organisasi ataupun seorang atasan kepada bawahan secara pribadi.
Kaderisasi via jalur informal menuntut adanya sebuah figure atau pribadi yang memiliki kekuatan karakter atau citra diri yang sangat kuat. Kekuatan karakter atau citra diri sangat dipersyaratkan agar seorang bawahan dapat terinspirasi,termotivasi, berkomitmen, berinisiatif dan berkeyakinan untuk melakukan struktur pembelajaran diri secara mandiri menginternalisasi nilai-nilai dasar kepemimpinan dalam dirinya. Sepanjang ketersedian figure-figur demikian tidak tersedia maka kaderisasi informal (internal) kepemimpinan sulit bahkan tidak terjadi.
Kaderisasi kepemimpinan jalur informal (internal) membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki seperangkat tingkat kecakapan atau keahlian yang dapat dianggap sebagai “value added” (nilai tambah) atau keunggulan plus yang dapat memperkuat peran kepemimpinannya. Seorang pemimpin diharapkan memiliki basic atau dasar pengetahuan yang komprehensif berkenaan dengan peran dan struktur kepemimpinan dalam mendrive organisasinya hingga ketingkat dimana pengetahuan komprehensifnya menjadi unsur kekuasaan yang dapat mengikat penerimaan bawahan pada tingkat ketaatan, kepatuhan, respek pada sang pemimpin. Begitu juga terhadap nilai-nilai lain diluar kepemimilikan pengetahuan kepemimpinan, yakni kepemilikan sikap yang baik sebagai sebuah variable kepemimpinan yang juga sangat memberi pengaruh terhadap tingkat penerimaan bawahan, apalagi sebagai anasir pembentuk kesediaan menjadi figure yang dapat diteladani atau dijadijakan pembelajaran kepemimpinan.

Kamis, 17 Juni 2010

Artefak Demokrasi dalam Pilkada



BL Padatu
Winston Churchill jauh-jauh hari telah mentesiskan bahwa demokrasi bukanlah sistem terbaik , sayangnya belum ada pilihan terbaik lainnya untuk menggantikannya. Seutuhnya ia mengatakan,” it has been said that democracy is the worst form of government excep all the others that have been tried.” Paling tidak Indonesia sepakat untuk menggunakan.
Satu dasa warsa lebih telah dijalani, apa yang dapat dipetik dalam pelaksanaan Pilkada dalam sistem demokrasi yang kita anut? Secara konseptual Demokrasi yang dibangun pasca reformasi 1998 adalah berdaulatnya rakyat dalam pemerintahan yang ditandai dengan keterlibatan langsung (direct partisipation) dalam ruang kebebasan. Demokrasi yang oleh Pericles (finley,1973) direntang definisikan,”mendiskusikan dengan sebaik-baiknya tanpa kekangan dan dan dengan hak isegori yakni kesamaan hak untuk berpendapat dalam majelis berdaulat tinggi (sovereign assembly)
Kekuatan demokrasi sesungguhnya terletak pada kekuatan verbal dialogis, hak bersuara, hak menyatakan kebutuhan, hak wacana. Demokrasi merupakan kran penyalur pemahaman yang tidak resisten pada realitas perbedaan dalam interaksi politik (Farrar,1992) diluar batasan tersebut demokrasi tidak dimaksudkan.
Konflik Pilkada
Ruang kebebasan sebagai sebuah anugerah atau kebaikan sistem demokrasi sepertinya terbaca lebih mendatangkan kutuk (curse) ketimbang berkah (blessing). Sulit untuk tidak berkata bahwa hampir keseluruhan proses penyelenggaraan Pilkada dibumbui oleh konflik horisontal (sesama pendukung) dan vertikal (terhadap penyelenggara). Dua peristiwa terkini; Insiden pilkada Mojekerto(21/5), Anarki Pilkada Toli-toli (kompas 2/6) memiliki kemiripan polarisasi konfliknya; demo, mobilisasi massa, pembakaran, pengrusakan infrastruktur, ancaman fisik, teror psikis.
Di titik ini demokrasi pilkada kehilangan kekuatan untuk tetap berpijak dan hidup dari spirit primer landasan konseptualnya yakni “demokrasi bicara”. Demokrasi pilkada tersebut telah melahirkan varian variable demokrasi “demokrasi ancam, demokrasi tendang, demokrasi bakar, demokrasi paksa, demokrasi teror, dll” Sulit untuk percaya bahwa demokrasi pilkada yang keruh ini terus bergayung sambut seolah tiada hilir. Gugatannya dimana letaknya “diskusi sebaik-baiknya” sebagaimana dikatakan Pericles?
Pemimpin produk Pilkada
Berapa jumlah pemimpin yang dihasilkan oleh proses demokrasi pilkada di Indonesia? Tentu jawabnya linear dengan jumlah adanya Pemerintahan Daerah administratif pada Pusat dan daerah (propinsi,kabupaten/kota). Bagaimana dengan Kinerja Kepemimpinan mereka? Laporan yang dikeluarkan Departemen dalam Negeri menyatakan 33 Provensi di Indonesia tidak ada yang menunjukkan kinerja Sangat Tinggi, hanya 9 Kabupaten dan 2 kota yang memiliki kinerja sangat tinggi dari 524 Daerah yang ada (Kompas 17 Des,2009). Begitu juga jika kita telisik dari laporan angka penduduk miskin 2008-2009 tingkat penurunan penduduk miskin hanya ± 1% dari 15.4% turun 14.5% (lihat Jawa Pos 28/2009). Dengan demikian jejak kinerja yang ditinggalkan oleh para pemimpin yang dihasilkan dalam proses demokrasi pilkada harus menjadi catatan krusial untuk diperhatikan. Terlebih jika harus diperhadapkan dengan fakta banyaknya pemimpin-pemimpin daerah yang harus berurusan dengan peradilan korupsi.
Menggeser kembali fokus
Dinamika masalah yang bertabur disepanjang koridor demokrasi pilkada di Negara kita sepatutnya menjadi titik lihat bersama dan ditaruh dalam daftar agenda mendesak untuk diselesaikan. Demokrasi pilkada kita telah mengalami “defisit” Harga beli demokrasi pilkada sejauh ini sulit untuk dihitung kalkulasi untungnya. Ruginya banyak, belum lagi kerugian terhadap terbangunnya mekanisme kebiasaan/prilaku kasar, merusak, yang berujung pada dehumanisasi.
Rakyat(peserta) pilkada tidak dapat dilihat lagi sebagai “Rakyat yang berdaulat” dengan martabatnya sebagai yang benar-benar rakyat. Rakyat dalam konteks demokrasi pilkada telah mewujud menjadi “Rakyat gerombolan” dimana kehadirannya sudah tidak untuk yang lain (being-for-other).
Demokrasi pilkada di mana didalamnya terjadi chaos telah membelah rakyat kedalam pembagian yang kehilangan sensitivitas nilai cinta akan kebersamaan dan hubungan yang sesungguhnya mutlak mengikat manusia dalam peristiwa kehidupan (Jean Paul Sartre1905-1980).
Jika demikian kita perlu menggeser fokus kita tidak hanya melihat apa yang sudah berlangsung di kekinian, sepatutnya kita memandang akan adanya “Struggles of hope” kedepan dengan demokrasi pilkada kita. Kita mesti berjuang dengan multi aksi dengan dilandasi semangat menangguk keuntungan berkelanjutan pasca demokrasi pilkada dan bukan keuntungan periodik yang nilai pencapaiannya belum jelas(bahaya laten korupsi).
Darimana pergeseran fokus harus dimulai? Tentu redefinisi visi demokrasi pilkada patut dikerjakan. Demokrasi pilkada kita yang sekarang ini lebih merupakan “demokrasi konsep” ketimbang “demokrasi praksis”. Tingkat pendefinisikan ulang visi demokrasi pilkada dibidikan pada kemampuan memprediksi apa yang akan terjadi ke depan dengan strategi penataan prilaku dan kerja sekarang dalam demokrasi pilkada. Jika hal ini dikerjakan dengan telaten tentu apa yang dikatakan suryopratomo (2007) dalam catatan sekapur sirih visi Indoensia 2030 menjadi penting untuk ditimbang yakni,”Mereka yang mampu memprediksi apa yang terjadi di depan, dan merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan ke depan, akan memetik manfaat paling maksimal.” Andai demokrasi pilkada tersus berlangsung seperti sekarang sulit untuk memperoleh apa yang disebut kebutuhan dasar manusia terpenuhi, yaitu kebutuhan partisipatif, kebutuhan beristirahat, kebutuhan rekreasi, kebutuhan identitas dan kebutuhan akan kebebasan (Manfred Max-Neef,1987). Akhirnya kita butuh menghasilkan kehidupan yang bukan saja sejahtera secara ekonomi namun sejahtera secara sosial dan politik. Inilah yang kita sebut-sebut sebagai artefak(hasil) demokrasi pilkada yang dinantikan.

Misteri Politik Indonesia




BL Padatu
I’ll be back. Dalam catatan saya inilah pernyataan Sri Mulyani Indrawati yang paling memiliki makna, sarat pesan politis, dari semua pernyataan beliau di akhir masa jabatannya. Paling tidak SMI memberikan kepada kita semua sebuah Pekerjaan Rumah (PR) untuk menafsirkan makna dibalik pernyataan tersebut. PR tersebut tentunya ditujukan bagi dirinya sendiri dan secara keluar bagi lawan-lawan politiknya. Persoalannya adalah great design apa yang sedang ia pikirkan dan persiapkan ke depan. Kita tidak tahu kembalinya Sri Mulyani apakah dalam rentang waktu panjang atau sesegera mungkin. Apakah ia akan membuat sebuah manuver politik jarak jauh? Apakah ia akan datang di 2014 sebagai salah satu kandidat R1 Atau apa? Di dalam pernyataan tersebut tersimpan misteri.
Misteri Politik
Dinamika politik Indonesia dapat dikatakan menyimpan banyak misteri. Banyak sekali contoh yang dapat menunjukkan kepada kita peta misteri. Rasionalitas politik kita sering kali terbaca oleh publik sebagai politik irasional.
Dapat disebutkan deretan realitas politik paling aktual, bagaimana mungkin Negara yang dikelompokkan sebagai salah satu negara terkorup di dunia dari dalamnya dipilih seorang yang menduduki posisi strategis di dunia perbankan skala dunia (Bank Dunia). Begitu juga sulit membayangkan bahwa seorang yang telah divonis secara politik “guilty” (bersalah) dalam kasus Bank Century di luar negaranya diapresiasi sedemikian tinggi dengan bentuk penghargaan yang belum pernah dicapai oleh putra-putri Indonesia sebelumnya dibidang yang sama di Nahkodai Sri Mulyani.
Susno menjadi salah satu Potret misteri Politik yang juga memperdalam public confuse. Publik dibuat semakin bingung dengan perwira bintang tiga yang pada masa-masa turbulensi hiruk pikuknya isu mafia Kasus menjadi pribadi paling tertuduh, public enemy, sosok yang paling dibenci. Dalam perjalanan “kompromi politik Internal” di Kepolisian Republik Indonesia Susno harus mengurut dada di copot sebagai kepala Bareskrim.
Waktu pada akhirnya mendaulat Susno sebagai Jendral “berbintang empat” dalam artian bintang yang satu adalah simbol kepahlawanannya yang dianggap patut mendapat bintang atau penghargaan publik atas jasanya sebagai whistle blower. Realitas berbicara lain, Susno kini mendekam di tahanan. Tiupan peluitnya meniupkan badai bagi dirinya sendiri. Kasus yang ia hembuskan justru menjadi bumerang. Di titik ini kebingungan publik semakin menggunung. Ada apa gerangan?
Mundur ke belakang kasus Bibit dan Chandra , di teralibesikan dengan argumentasi pelanggaran tidak adanya tanda tangan kolektif pimpinan KPK dalam surat pencekalan yang dikeluarkan terhadap Djoko Tjandra dan Anggoro. Melalui dinamika dukungan publik yang kuat, pemerintahan melalui pidato politik SBY berdasarkan masukan-masukan Tim 8 merekomendasikan pembebasan Bibit dan Chandra atas dasar pertimbangan yang melampau substansi materi hukum. Sayangnya ending yang manis dari gejolak isu kriminalisasi KPK kembali membara pasca kemenangan Anggodo di praperadilan terkait SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan). Kasus ini pada ujungnya menambah daftar misteri politik di Indonesia.
Selasa 1 Desember 2009(Berita Tv one), LSM Bendera mengedarkan selebaran Aliran Dana Century. Dalam edaran tersebut Bendera mengkalim memiliki data valid terkait semua aliran dana yang diklaim diterima oleh Partai Demokrat dan sejumlah nama seperti Amiruddin Rustam 33 milyar, Choel Malarangeng 7 milyar (tempo interaktif 5/2/2010). Rabu 10 Februari 2010(Vibis Daily.Com) PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) melalui konfirmasi 112 Bank Umum menegaskan bawa Bendera keliru, data mereka tidak valid. Ujung-ujungnya pasca pemanggilan dan pemeriksaan Bendera oleh pihak kepolisian mereka dibebaskan. Siapa yang benar publik sudah kehilangan jejak. Semestinya soal aliran Dana Bank Century dapat diketahui dengan jelas. Hingga hari ini public masih merindukan misteri Bank Century terpecahkan.
Bagaimana dengan kasus-kasus lainnya? Tentunya masih merupakan daftar misteri yang belum masuk pada daftar tayang. Semuanya masih tertutup tirai panggung misteri politik.
Quo Vadis Politik Indonesia
Menggungkap berbagai misteri di pentas perpolitikan merupakan terminasi tanpa ujung. Satiran terhadap politik dikenakan oleh publik politik adalah seni mengaburkan sesuatu. Bukan politisi namanya kalau tidak mampu menyembunyikan sesuatu. Politik dikelola dalam perspektif cerdik menyiasati, pandai menelanjangi dan pintar menjubahi keburukan.
Membedah pergerakan perpolitikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan oleh semangat kartelisasi politik berbasis pada mekanisme monopoli pasar dan bukan lagi pada panggilan demokratik partisipatif. Kartelisasi Politik merupakan pintu masuk rent seeker yang secara vulgar senantiasa menjinakkan pasar menalui serangkaian manipulasi regulasi, tariff, dll diatas bangunan konsensus politik siapa dapat apa. Kartu-kartu Kartelisasi Politik senantiasa dimainkan untuk meredam gejolak oposisi dengan dalih stabilitas politik yang sesungguhnya “stabilitas elite”. Hari ini sebuah partai menjadi oposisi, besok lusa re-posisi. In part dan de part dalam dinamika eksekutif menjadi dua kutub yang halal dihuni. Hari ini koalisi esok gembosi merupakan hal yang sah-sah saja. Wawasan definisi publik menjadi semakin kacau dalam memahami dinamika koalisi dan oposisi. Siapa yang pure kawan dan lawan setiap hari membuka kemungkinan saling bertukar posisi.
Membaca realitas politik Indonesia masa terkini seolah membaca dinamika alam. Angin telah terhembus, awan hitam telah membercakkan dirinya di horison, ramalannya jelas akan segera turun hujan. Sayangnya Hujan tidak kunjung Turun. Kasus Century, Kasus Gayus, Kasus Susno, kasus aparat penegak hukum, semuanya telah disertai gejala-gejala turunnya “Hujan Kebenaran”, sayangnya semuanya pekat kembali menjadi misteri yang tidak kunjung tiba. Konstelasi politik Indonesia sungguh-sungguh Misteri. Dapatkah publik memecahkannya?

Jumat, 04 Juni 2010

Harga Sebuah Kepemimpinan?

BL Padatu
Mojokerto rusuh saat visi dan misi stategis ke tiga kandidat Bupati dan wakilnya dipaparkan. Paling tidak insiden ini menyumbangkan satu persoalan yang krusial untuk dipikirkan serta mendapat tempat perumusan dalam visi dan misi kepemimpinan daerah kedepan. Pemimpin baru, siapapun mereka memiliki tugas membangun karakter masyarakat yang damai, memiliki kesadaran memelihara atau menjaga aset daerah.
Kurang lebih 17 Mobil/kendaraan dari 25 kendaraan yang parkir dinyatakan rusak berat,belum termasuk jenis kerugian lain. Berapa kerugian yang ditimbulkan oleh amuk massa ini? Harga kalkulatif dari segi materi tentu dapat ditafsir nominalnya. Misalkan jika harga sebuah mobil jenis kijang Inova terbaru seri 1.3 E M/T kurang lebih Rp.133.600.000 (ini seri termurah) itu berarti dikalikan 17 unit setara dengan Rp.2.271.200.000 belum ditambahkan dengan biaya kerusakan total mobil lainnya, bangunan,pagar, biaya perobatan,dll. Bagaimana dengan kerugian non material? Tentu jauh lebih besar.
Menimbang harga sebuah kepemimpinan dapat dianalisis dalam rentang waktu before dan after. Semua yang timbuk akibat suksesi kepemimpinan Pilkada memiliki nilai atau harga yang signifikan. Harga yang berkorelasi langsung dengan tujuan kepemimpinan itu sendiri.
Seorang pemimpin yang mendeklarasikan dirinya berkompetisi sebagai kandidat/peserta pilkada pada dirinya senantiasa dibekali dengan kesiapan daya dukung finansial selain syarat-syarat lain. Dalam konteks kebutuhan before, seorang kandidat Pilkada wajib menyediakan sejumlah uang untuk belanja logistik kampanye, biaya tim profesional Tim pemenangan, ikln politik, dll yang total anggarannya mencapai pembilang milyar.
After atau sesudah memenangkan pemilihan, seorang pemimpin diperhadapkan dengan nilai taruhan yang sangat besar, melampaui jumlah pengelolaan besararan APBD daerah masing-masing. Secara empiris dapat diasumsikan seorang pemimpin akan memenuhi tanggungjawab pengembalian dana pemenangan. Tanggungjawab ini disertai oleh “Bunga Investasi Modal Pemenangan” yang besarnya tentu menyentuh rasio “Multiplikasi” atau penggandaan (kelipatan).
Kita asumsikan saja besaran APBD Kabupaten Mojokerto 2010 sebesar 328 Milyar. Belanja Kepegawaian teranggarkan “Rp 240 Milyar” (Surabaya pos/22 Des/2009). Itu berarti sisa anggaran sebesar 88 Milyar. Berapa jumlah anggaran yang dialokasi untuk diberikan kepada investor politik? Dan tentunya anggaran pelayanan publik? Andaikata seorang calon pemimpin menggunakan besaran 5-10 milyar dana kampanyenya, bisa dibayangkan nilai multiplikasinya. Jika menggunakan kelipatan 3 dari asumsi 5 milyar investasi politik itu berarti seorang kepala daerah terpilih wajib mengalokasikan modal 5 milyar ditambah 3x5 milyar yakni 15 milyar. Total dengan modal awal 20 milyar. Dengan sisa anggara 88 milyar dikurangi 20 milyar maka sisa dana yang akan dikelola sebagai belanja pelayanan publik adalah sebesar 68 milyar.
Dengan jumlah penduduk Mojekerto yang tersebar di 18 kecamatan yakni 1.073.027 (Januari 2010/bagian perekonomian Kab. Mojokerto) itu berarti jika sisa anggara didistribusikan menggunakan asumsi jumlah kecamatan, dengan demikian masing masing kecamatan terjatah kurang lebihRp. 3.7 milyar. Kalau asumsi distribusi anggarannya menggunakan perkapita/perpenduduk,itu berarti setiap penduduk terjatahkan anggaran sebesar Rp.63.000,372 . Pertahun anggaran (APBD) setiap penduduk Mojokerto hanya diback-up dana layanan publik Rp. 63.000. untuk semua jenis layanan publik yang dapat dinikmati (pendidikan, kesehatan, infrastuktur). Dapatkah besaran daya dukung dana layanan publik ini dapat meningkatkan indek pembangunan Manusia di Mojokerto? Perlu dicatat besaran sisa anggaran tersebut belum dikonvesasikan buat menggantikan seluruh kerugian yang ditimbulkan dengan Insiden pilkada Mojokerto baru-baru ini. Termasuk anggaran pilkada itu sendiri sebesar 22,5 milyar. Tentu jika dihitungkan dengan biaya pilkada ini porsi anggaran bagi rakyat jauh dibawa standar keberdayaan.
Dalam konstruk konsep PPF (Product possibility frontier) diasumsikan bahwa dalam batasan sumber daya terbatas penambahan satu jenis produk hanya dimungkinkan dengan mengurangi atau mengorbankan produk lainnya. Jika digunakan dalam menjelaskan keterbatasan anggaran publik, masuknya mata anggaran baru (untuk kepentingan investor politik atau penggantian kerusakan/kerugian materil dalam insiden Mojokerto) akan dengan sendirinya mengurangi pos anggaran lainnya bahkan menghilangkan proyek-proyek yang sudah ada terlebih dahulu. Dengan demikian setiap bentuk kerugian yang telah ditimbulkan oleh amuk massa Pilkada akan kembali atau terpulang pada pembebanan mata anggaran baru.
Dengan konstruksi persepsi ilustratif terhadap kontestasi kepemimpinan, terlebih kepemimpinan anggaran diatas, tergambarkan betapa nilai taruhan kepemimpinan setiap pilkada berada pada pertaruhan yang sangat mahal harganya. Mahal buka saja menyangkut ongkos penggangkatan seorang pemimpin, namun sangat mahal dalam ke-efektifan dan ke-efisienan bahkan keadilan pengelolaan dana yang sudah terdistribusikan berdasarkan pertimbangan anggaran yang sangat minimais bagi rakyat banyak. Mahal bukan saja ketersediaan dana terbatas namun kecerdasan dalam menskala prioritas pembiayan layanan publik.
Siapapun yang terpilih dalam pemilu tersebut kiranya para pemimpin menyadari betapa rakyat hanya memiliki beberapa rupiah dana anggaran untuk banyak jenis layanan publik yang tentunya mutunya perlu dievaluasi. Semoga hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua daerah di Indonesia.