Senin, 25 Januari 2010

Pendidikan politik:Berdialog dengan Realitas sosial di dalam buku

Oleh: BL Padatu

John Dewey menggagas bahwa kegagalan dalam memandang situasi kongkrit merupakan “kejahatan” dalam pendidikan.Proses berpendidikan, baik dalam spektrum yang digali secara formal maupun informal, paling tidak merupakan sebuah design yang dibangun dalam suatu bingkai berkesadaran serta berkemampuan bukan saja sebatas mengerti apa yang divisualkan di level permukaan realitas.Lebih dari sekedar,namun menembus batas terdalam secara esensial untuk berkonstribusi mengangkat penyingkapan realitas sebenarnya. Para penulis, dalam berbagai karya intelektualnya senantiasa terinspirasi memotret fenomena sosial yang mengitari perjalanan kehidupan sebuah masyarakat, bangsa kemudian dalam letupan idealisme meramu dan bergegas menyajikan totalitas amatannya sebagai sebuat konstruksi realitas yang oleh publik dapat diterima validitasnya sebagai sebuah hipotesis realitas sosial.
Seorang penulis bergenre realisme senantiasa dituntut mendemonstrasikan moral, konstruksi nilai ketulusan dan kejujuran menyingkapkan kebenaran realitas yang oleh sebagian besar publik tidak berkemampuan menggali dan menemukan realitas tersembunyi dari realitas tampak. Dalam kegigihan kerja penulis,menurut tesis Georg Lukacs,1989,para penulis realis senantiasa berhadapan dalam arus ketegangan antara komitmen kemerdekaan manusia disatu pihak dan tipikalitas kehidupan yang digerakkan oleh kesadaran palsu yang diciptakan oleh suatu sistem kekuasaan;dari ekonomi sampai politik (Ibe Karyanto,1997).
Goerge Junus Adittjondro,John Roosa,achdiat Kartamihardja,Darmawan,dll (kompas 9/1/’10) merupakan sederetan pribadi dari banyaknya pribadi-pribadi sejenis yang membawa diri mereka memasuki lingkungan kekuasaan pemerintah pada masa tertentu, mempublikasikan kemerdekaan mengungkap realisme sosial politik bukan sebatas gugusan ideograf (agan-agan semu) namun ditawarkan sebagai sebuah formulasi konstruk sosial ideologis dengan respon konsensus publik.Artinya Seorang penulis realis merupakan parsialitas realitas sosial politik yang membutuhkan justifikasi publik pembacanya melalui mekanisme legalis.Sepanjang konsensus penulis dan publik pembaca tidak inpart satu sama lainnya maka relitas sosial yang diperlihatkan tidak dapat diterima nilai atau esensi kebenarannya.
Publik politik, diharapkan jauh dari praktek hegemoni realitas kebenaran. Kebenaran tidak dapat diklaim, dibandrol dengan sensoritas melalui pendekatan “kekuasaan” semata,transparansi realitas sebaik dan seharusnya meruh kedalam tatanan pemerintahan yang baik, pemerintahan sipil,paling tidak menjadi Pemerintahan realis.
Penerapan pemerintahan tak terbatas(absolut), dalam kasus pelarangan karya intelektual/tulisan,menjadi antitesi dengan tatakelola pemerintahan terbatas.Pemerintah atau penguasa merupakan perwujutan real dari kehendak real masyarakat, protektor kebebasan masyarakat.Pemerintah diharapkan cerdas dalam menata intervensi atas nama apapun, turut mengkalkulasi opini publik sebagai stakeholder “Kuasa.”
Tentu kita berharap, baik penulis maupun Pemerintah tidak berperan melampaui hak dan kewajibannya (vested interest).Penulis dan Pemerintah bersimbiosis dalam menegakkan kedaulatan negara dalam praksis penegakan kedaulatan kehendak umum Rakyat.
Realitas kenegaraan(sosial politik) dalam konstruk buku dapat dipandang sebagai tatanan kenegaraan yang dilimitasi eksistensi dunia buku itu sendiri.Segenap persoalan yang dilepaskan dalam dunia buku sebaiknya ditanggapi dalam dunia buku.Menanggap persoalan realitas yang dibeberkan dalam buku ke luar dari “kedaulatan teritorial buku” mendekati penolakan adagium “Persoalan di laut jangan dibawa-bawa ke darat”, “ikan tidak dapat bernafas di langit-langit” Problematisasi pencemaran nama baik dan sebanyak keberatan apapun dalam konflik penulisan buku, realitas yang dipersoalkan, akan menggaransi proporsionalitas dialog kebenaran bila difasilitasi dalam perdebatan cerdas di dalam dunia buku.Buku dijawab dengan buku.Pembaca buku adalah “hakim” sementara hingga keluarnya rekomendasi institusi hukum berwenang.Negara kita adalah negara hukum yang dapat menjemput siapapun yang menangguk kepentingan diatas “pencurian hak” orang lain,termasuk hak menjaga nama baik dan kehormatan diri.
Persamaan simetrinya buku dilawan dengan buku dapat dipelajari dari produk media parodi politik “Republik Mimpi” dengan mengkonstruk persoalan real ke-Indonesiaan namun dikonseptualisasikan sebagai “negara Tetangga/negara bayangan.”Persoalan sekarang yang perlu untuk dikerjakan dalam menjembatani keresahan-keresahan yang dimunculkan dari polemik reproduksi realitas dalam buku adalah bagaimana melakukan pendidikan politik bagi publik pembaca untuk memahami setuntasnya, seidealnya bahwa konstruksi realitas dalam dunia buku bukan sama dengan “benar.” Semua buku pada dasarnya merupakan basis argumentasi berkadar “hipotesis.” Publik harus dibuat mengerti bahwa penulisan sebuah buku merupakan upaya menjalin, menafsir berbagai fenomena atau kenyataan yang mengitari lingkungan sosial, kemudian di hadirkan untuk di perdebatkan kebenarannya hingga mencapai konsensus yang mutlak bahwa sesuatu yang dituliskan berkadar kebenaran rendah, tinggi, hingga titik ekstrim produk imajiner (hayalan).
Menarik kembali tesis john Dewey bahwa konstruk pendidikan yang gagal membuat masyarakat didiknya kesulitan memahami realitas kongkrit (dipersulit), merupakan sebuah tindakan kejahatan. Masyarakat pembaca yang oleh multi mekanisme sistem pendidikan yang beroperasi dimasyarakat gagal mengantar masyarakat menemukan dan memahami kebenaran objektif menjadikan multi sistem pendidikan tersebut sebagai oknum jahat.Baik pemerintah maupun para penulis merupakan entitas yang memiliki kedudukan yang sama,bertanggungjawab, dalam hal memfasilitasi masyarakat untuk belajar menemukan realitas objektif(sosial politik).
Buku merupakan salah satu media pendidikan yang akan menjadikan publik pembacanya sebagai insan yang akan menerima pembelajaran mengenai konstruksi kebenaran objektif.Jika pihak yang melakukan pembelajaran lewat buku gagal menghadirkan realitas objektif sebagai bahan dasar konstruk kebenaran yang diidealkannya maka pertanyaan siapa “penjahatnya” akan menjadi jelas bagi kita semua,yakni penulisnya. Namun jika realitas kebenaran yang diudargagaskan penulis mampu meyakinkan publik tentang adanya realitas kebenaran yang dieliminir namun dicegah kehadirannya maka kitapun akan tahu siapah tokoh “jahatnya.” Pembaca bukupun tidak terlepas dari sematan peran “penjahat” bila mana bersepakat mimihak tanpa terlibat secara aktif, terlebih membangun realitas tertentu tidak berdasarkan data-data mutlak,publik pembacapun dapat dikategorikan sebagai “penjahat.”
Sebagai proses pendidikan berpolitik, berdialog dengan realitas di dalam buku harus digiatkan.Publik pembaca diajak untuk berespon dengan kultur berbeda terhadap realitas yang tampil didalam buku dengan realitas di luar buku. Publik pembaca (penulis,masyarakat,pemerintah) diarahkan untuk menjadikan buku sebatas wacana,isu yang tidak memiliki kekuatan menjustifikasi terlebih melegitimasi realitas objektif.Dengan demikian fenomena membredel buku, memasung panggilan intelektual dapat kita posisikan secara elegan.Penting untuk ditegaskan disini bahwa Penulis adalah pribadi yang mengerti posisinya dihadapan hukum,sekaligus mengerti bahayanya jika mengkonstruksi realitas semu.Sama halnya George Junus Adittjondro menyadari sedang ”bermain-main dengan bencana,” dan ia mungkin menuliskannya dengan meyakini bahwa realitas sosial bukunya adalah realitas objektif sehingga semestinya ia dapat bebas dari jeratan hukum. Publik satu sisi harus menimbang bahwa Goerge mencoba melampaui ketakutan terhadap “hidupnya” dan menjangkau realitas objektif guna ditawarkan untuk di nilai oleh publik, pada sisi lain Publik juga harus respek terhadap adanya pribadi-pribadi yang ditempatkan pada situasi “berbahaya” jika realitas yang dikonstruksikan penulis jauh dari fakta mutlak/sebenarnya.Karenanya baik penulis, yang dituliskan harus sama-sama kita pandang dalam bingkai berpikir maha-positif,Hukum akan memediasi mereka untuk memperoleh hak-haknya.

Yogjakarta 8 januari 2010

Rabu, 13 Januari 2010

“DEMOKRASI SETENGAH TIANG”

BL Padatu

“Untuk membaca apakah sebuah Negara sedang berduka teramat mudah untuk dilakukan yakni semuda melihat kibaran bendera merah putih yang dikibarkan setengan tiang sebagai simbol duka negara.” Dimanapun, di halaman perkantoran, rumah-rumah biasa,di jalan-jalan protokol, di pasar-pasar,keberadaan bendera setengah tiang dipahami dalam bingkai pemahaman narasi kedukaan.
Demokrasi berduka
Belum lama satu simbolikum dukacita bagi bangsa kita dipatri dalam seruan kerekan bendera merah Putih setengah tiang bagi “Bapak Bangsa” (alm.K.H Abdulrahman Wahid). Kepergiannya merupakan sebuah ironi diantara ode(syair/lirik pujian) dan elegi (syair duka). Draf atau usulan penyematan gelar sebagai pengabdi bangsa ini ramai didiskusikan untuk mengkristalisasikan sepak terjang beliau dipentas kehidupan berbangsa dan bernegara.Mampukah konstruktor gelar merangkum kiprah ke-multidimensionalan kedalam sebuah pilihan diksi yang tidak membuka ruang tercecernya nilai-nilai perjuangannya sebagai pejuang kemanusaian, pluralisme, demokrasi,wong cilik,dll.Semoga pilihan penyebutan gelar mampu mengakomudir kesegenapan perjuangan beliau dan tidak terkecilkan dalam kesalahan Malapropism (ketidak tepatan memilih kata/gelar).
Diluar hiruk-pikuknya usulan-usulan penghargaan bagi K.H.Abdulrahman Wahid,berkibarnya bendera setengah tiang seolah-olah sedang menceritakan kepada bangsa kita (meluas skala Internasional) bahwa perjalanan berdemokrasi di Tanah air kita linear dengan kibaran setengah tiang.Teriakan histeris Indonesia berdemokrasi/Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia jauh melampaui atau melompati perjalanan sebuah realitas praksis. Bendera Demokrasi kita masih tertinggal,berkibar dibelakang retorika politis tentang Negara Demokrasi yang menjauh dari logika konseptual “demokrasi.”sampai hari ini kita dibingungkan dengan berbagai manuver atau lompatan logika berdemokrasi ala Indonesia. Jika hari Gus Dur disemayamkan dengan iringan hujan syair “kepahlawanan” tentu masih segar dibenak kita bagaimana “Indonesia” menodongkan “Senjatanya” memaksa Gus Dur keluar dari Istana Kepresidenan dengan “Celana setengah tiang.”
Jika kita mencarikan fenomena lainnya betapa demokrasi di Indonesia tidak pernah mencapai realitas kepenuhan maknanya tentulah tidak sulit melakukannya atau menunjukkannya. Sebut saja pristiwa “peti mati demokrasi” sebuah kekerasan perjuangan berdemokrasi (matinya salah satu ketua DPRD di negeri ini/korban),sebuah riak pesta demokrasi yang bablas mankna kesejatiannya,berniat menghidupkan sesuatu namun sisi lain menyebabkan kematian bagi yang lain.
Susilo Bambang Yudoyono, dalam kapasitasnya sebagai Presiden yang terpilih melalui momentum pemilu yang demokratis, kini merupakan potret anomali proses berdemokrasi.Sulit untuk memahami sebuah fenomena penderaan proses politik pada kurun waktu belakangan terhadap kepemimpinan orang nomer satu di republik ini.Dapatkah kita mengabaikan barisan fakta sokongan majority “one man one vote” dalam pemilu 2009.Dimana kita dapat mencarikan basis argumentasi pengingkaran suara pilihan yang teramat cepat “dianggap berbalik” menyerang “pilihan mereka”sendiri.Apakah benar rakyat banyak yang berbaris dibelakang pemerintahannya melalui proses pemilihan telak sebegitu cepat menarik dukungan mereka diatas tabuhan gendang politis.Apakah rakyat atau konstituen SBY telah ikut menari dalam “tabuhan gendang senayan?”dan melupakan biaya demokrasi kita? Pada titik ini defisitkah proses berdemokrasi kita?
Akhir-akhir ini hiruk pikuknya wacana perlawanan menegakkan dan mengibarkan bendera demokrasi secara penuh kepuncak tiang kehidupan berbangsa dan bernegara juga diwarnai oleh guratan upaya-upaya untuk menafsir ulang emiksasi (pemaknaan) demokrasi yang pas bagi Indonesia melalui aksi sensor kejaksaan Agung terhadap karya-karya intelektual anak bangsa(kompas 5/1/2010). Sensorisasi karya intelektual seakan-akan ingin memperagakan sikap “seolah demokratis” dengan memberi ruang kebebasan berpendapat yang sependapat dengan “pemerintah berkuasa.”Bagaimana nasip seorang Goerge Junus Aditdjondro beserta bukunya “Membongkar Gurita Cikeas” apakah akan menjadi momentum pembongkaran ulang atau redefinisi berdemokrasi di Indonesia?
Demokrasi, politik dan harapan publik
Walaupun kita tidak mengklasifikasi fenomena sandungan krikil demokrasi seperti digambarkan beberapa contoh kecil diatas kedalam kriteria “great disruption” (kekacauan/gangguan besar),paling tidak sikap mawas dan reaktif terhadap gangguan berskala kecil “small disruption”(gangguan kecil) namun berpotensi contagion (sistemik/pengaruh buruk) perlu untuk senantiasa disiagakan.
Perjalanan berdemokrasi di Indonesia (bahkan di dunia) memang jauh dari titik kulminasi pencapaian kesempurnaan nilai ideologisnya. Paling tidak proses demokrasi perlu dikontrol dan senantiasa dihidupi menjauhi proses pembalikan ke kutub“ziarah” dimana nilai-nilai kemerdekaan hak dikembalikan kedalam pasungan, kedalam kubangan dehumanisasi segala bidang.Perjuangan menegakkan, menaikan bendera demokrasi melampaui posisi setengah tiang sebisa mungkin melawan anggapan perjuangan demokrasi di Indonesia merupakan “perjuangan setengah hati.” Mewujudkan demokrasi semestinya bergerak menjauhi kutub negatif dan perlahan namun pasti mendekati kutub positif serta tidak boleh berada pada titik diantara dua kutub tersebut yang berari “Nol” tidak bergerak atau stagnan.
Wajah demokrasi di Indonesia sebaiknya kembali pada spirit etika ketimuran kita(politik santun), ruh pemerdekaan yang bersumber dari warisan kebulatan historis berdirinya Indonesia Raya. Politik sebagai salah satu instrumen pengelolaan bernegara hendaknya tidak menjadi atau dijadikan suprasistem yang menahan kibaran bendera demokrasi setengah tiang hanya sebatas bermakna “Dukacita” bukan sebagai sebuah perjalanan kejayaan berdemokrasi yang sedang berada di tiang tengah dan segera bergerak mencapai kedaulatannya. Proses berpolitik seyogyanya manunggal dengan proses berdemokrasi secara praksis bukan retoris.Pada akhirnya proses demokrasi dapat dipandang sebagai penegakan Pemerintahan Sipil yang berdikdaya.Penegasan John Locke menjadi agenda penting dalam mengkampanyekan “KUASA itu milik RAKYAT”, karenanya tidak ada “tahkta” yang diperebutkan dalam pemerintahan rakyat, melainkan dipercayakan serta didistribusikan bagi mayoritas kesejahteraan rakyat.
Kasus Bank Century akan menjadi batu uji berdemokrasi untuk kesekian kalinya, dimana rakyat sesungguhnya sedang menanti, masih sabar memberikan kepercayaan kepada wakilnya untuk mengelola problem century untuk memenangkan kepentingan rakyat dan bukan mempertentangkan kepentingan antar rakyat secara destruktif(terlepas apapun hasilnya).
Sesuatu yang tidak dapat kita hindari atau pisahkan dari proses politik di negara kita adalah memperjuangkan pengelolaan “kuasa sebagai milik rakyat” tanpa harus terjebak dalam tuntunan definitif dari hakikat politik yang berusaha menjawab pertanyaan Lasswell(1993) “siapa mendapatka apa, kapan dan bagaimana?” seolah-olah ada kepentingan lain yang memaksakan diri masuk dalam pemetaan “stakeholder kuasa”. “ Siapa” seharusnya tegas bermakna “rakyat” bukan Partai politik atau politisi ataupun kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Proses politik semestinya resisten terhadap gagasan design peta konflik, konflik murni yang memperhadapkan masing-masing antara sini melawan sana (Schmit 1976), mereka habis atau kita!
Gagasan tentang “fenomena demokrasi setengah tiang” semestinya merupakan perlambangan kegagahan memperjuangkan semangat kebersamaan progresif bukan sebaliknya sebuah syair elegi yang mendekomposisi nilai-nilai kesederajatan, persamaan hak hingga terposisikan sebagai kepingan-kepingan terpisah , melemah hingga demokrasi kehilangan vitalitasnya. Paling tidak gagasan res republica yang dilandaskan sejak jaman romawi kuno menyangkut “ikatan-katan dan komitmen bersama antara orang-orang yang tidak memiliki ikatan keluarga maupun hubungan secara personal’(Sennett 1978) menyimpulkan adanya harapan publik bahwasanya proses politik (politik itu sendiri) menjadi tools pemberdaya tujuan berbangsa dan bernegara tanpa dicederai oleh kontestasi politik destruktif.

Yogjakarta 6 januari 2009