Senin, 01 Desember 2008

Kanibalitas Konstitusi pemilu 2009

“Jeruk kok makan jeruk?” demikianlah cuplikan sebuah produk kreatif innovative periklanan media Tv kita yang menggugat moral “kanibalitas” sosok jeruk yang dihidupkan sebagai sebuah pribadi yang menggerogoti dirinya sendiri.

Fenomena jeruk makan jeruk dalam realitas perpolitikan Indonesia berhadapan langsung dengan evidence (fakta) yang melahirkan deretan aksi menanyai rasionalitas esensi perpolitikan kita. Dari mana logika pertanggungjawaban dapat dibangun dari suatu debat panjang interprestasi acuan pelaksanaan pemilu yang seolah-olah mendapat legitimasi “konstitusi”?, namun senyatanya telah ditegak benarkan kekeliruannya oleh Mahkamah Konstitusi.

“Menang Tanpa Tarung”

Problem peta politik kita telah menerjang retasan jalan baru yang teramat keliru. Perjalanan yang ditempuh dengan mengabaikan relitas kemenangan Konstitusi putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan gugatan terhadap keberadaan 9 partai “ anak emas” . Skema tanding partai politik telah bergeser menyerupai skema-skema pertandingan di segmen Olah Raga yang memungkinkan salah satu atau lebih kontestan menang tanpa harus bertanding, bahkan kalah dan dapat tanding ulang.

Kanibalitas Konstitusi

Carut marutnya pemberlakuan konstitusi di Negara kita mengundang suatu wacana baru sebuah “Negara Indonesia Baru”dengan back up konstitusi diluar UUD 45, yang membelakangi “Negara Indonesia Asli”dengan dihidupi oleh aliran nafas dan darah UUD 45. Fenomena tersebut dapat saja berbuahkan ajang baru hadirnya sebuah panggung kontestasi produk-produk konstitusi di Negara Indonesia. Di panggung inilah aksi tarung antara UUD 1945, dengan UU No 10/2008(khususnya pemaknaan dan pemakaian pasal 316 huruf d ) , bahkan bisa saja dengan munculnya produk tandingan konstitusi seperti Perpu (ekspektasi jalan keluar/lihat.Kompas 17/7.Denny Indrayana) yang akan menjadi jembatan penghubung atau semacam instrument pencair kebuntuan kontestasi UUD 1945 dan UU No 10/2008. Pada tataran kontestasi konstitusi ini sesungguhnya realitas “politik Horor baru telah menjelma” yakni fenomena “kanibalitas Konstitusi”. Dimana Jeruk (konstitusi) makan atau menelan Jeruk lainnya(Konstitusi).Kanibalitas Konstitusi ini dapat pula dimaknai dimana sebuah produk konstitusi dapat membunuh kekuatan pemberlakuan substansi konstitusi lainnya. Tidak dapat dibayangkan jika proses melahirkan pemimpin dan hal kepemimpinan dilahirkan melalui mekanisme yang semenakutkan demikian, dapatkah kita menemukan seorang pemimpin dan mekanisme kepemimpinan yang terhindar dari praktek “kanibalitas konstitusi yang juga kanibalitas politik pemilu 2009”. Hal seperti ini jika dibiarkan dan diloloskan dalam periode pemilu 2009, eksesnya dapat meng-anakrantaikan fenomena kanibalitas yang dapat bermutasi pada ragam kanibalitas lainnya. Salah-salah eksistensi Rakyat sebagai pemilik sah dari kedaulatan Negara, politik, hukum, dll, tuntaskan atau diakhiri oleh aktivitas Kanibalitas yang mengerikan. Hak-hak “Emas” Rakyat sebagai individu dilahap tuntas. Ekspektasi kita tentunya berujung pada terminasi aksi menghentikan dinamika “kanibalitas konstitusi” yang jika kita lengah dapat saja mengkristal menjadi “isme” yang langgeng, tidak lekang oleh keresahan social , hukum, politik kita. Tentunya pada tingkatan “isme” kanibalitas sangat kita haramkan.

Jalan Salah Arah

Bergulirnya proses kontestasi partai pemilu tanpa resah dan gelisah dengan produk Mahkamah Konstitusi telah membuka suatu alur tapakan baru menuju Indonesia yang salah Arah. Bagaimanapun juga KPU sebagai Institusi Negara penyelenggara Pemilu 2009, telah menekan tombol start menuju perjalanan ke “Indonesia salah arah”. Indonesia yang sedang kita design (rancang-bangun)melalui bentukan mekanisme Pemilu 2009 kini telah berjalan dalam “Problem of wrong direction”(problem salah arah).Urgensi kesalaharahan tersebut dapat berimplikasi pada “Terminasi yang keliru” dari perjalanan didirikannya sebuah Negara berhadapan dengan eksistensi “Rakyat” sebagai Tuan atas Negaranya. Betapapun pemilu 2009 ini menggunakan mekanisme yang canggih, diramaikan oleh ragam partai, kekayaan misi dan visi, dibiayai dengan cost yang teramat Mahal, Besarnya potensi Intelektual politikus, kuatnya sumbangsih ideologi kesejahteraan, semuanya akan berakhir pada sesuatu yang “salah”. Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah, menyadari bahwa Pemilu 2009 telah berjalan dijalan yang salah arah, selanjutnya segera memutuskan dengan segala keberanian, keyakinan, segera berbalik arak ke titik start semula (amanah konstitusi UUD 1945) walaupun Indonesia harus membayar mahal kekeliruan tersebut. “Balik segera atau Indonesia Binasa”. Jika pemilu 2009 Indonesia memaksa melangkah terus tanpa mengindahkan sinyal-sinyal bahaya yang telah banyak ditangkap dan diisyaratkan oleh masyarakat Indonesia dari segala lapisan, bersiap-siaplah menjumpai benturan-benturan baru yang harga pertaruhannya tentu besar dan tidak dapat kita kalkulasi sekarang. Selamat Mengambil keputusan, kita belum terlambat! Indonesia yang Berbenah adalah “Indonesia Bisa(dapat) bukan Indonesia Bisa(beracun) atau Indonesia bias”.Semoga Pemilu 2009 kembali kepada pengakuan eksistensi UUD 1945 sebagai jiwa, roh dari Indonesia Raya yang sejati.

Bartholomius Padatu

Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Negara Fisipol UGM

Tidak ada komentar: