Kamis, 22 April 2010

The Wrong Person in the vital Place: Mewaspadai profesionalitas, Popularitas Semu PILKADA

BL Padatu

Pemerintahan Daerah di Indonesia sedang melakukan Proses Pemilihan Pimpinan Eksekutif (Birokrat). Sekitar 244 Daerah: 7 Provinsi dan 237 Kabupaten/Kota akan menentukan momentum strategis untuk menetapkan pimpinan Kunci dalam menata-kelola, membangun keberdayaan Daerah. Dikatakan strategis karena menyangkut nasip hajat hidup orang banyak dan secara sistemik kepentingan regeneratif. Strategis karena berkaitan dengan Beban/tanggungjawab kerja yang menuntut keahlian tingkat tinggi. Singkatnya posisi Pimpinan Daerah terkategori jabatan Vital, mengandung resiko tinggi.
Beberapa konsep penting yang berfungsi mengontrol tindakan pemilihan kepala daerah banyak disodorkan kaum pemerhati. Secara filosopis konsep-konsep tersebut terurai dalam istilan “The Right man in the right place” (Pribadi yang benar/tepat di tempat yang benar/tepat). Rupa kekecewaan terhadap terjadinya bias ekspektasi proses kerja kepemimpinan kemudian diperlawankan dengan kemunculan istilah “The wrong man in the wrong place”. Bagi Penulis Istilah tersebut dapat ditingkatkan pada derajat “The Wrong man/person in the Vital place”(Orang/pribadi salah di tempat vital). Makna pengingat yang dikandung dalam ungkapan tersebut sejatinya ingin mensinyalkan atau membagi isyarat bahwa kekeliruan menetapkan Pimpinan Daerah/Kepala daerah dapat berakhir dengan pertaruhan Mahal.
Tingginya nilai strategis Kepala Daerah menjadi bukan hanya posisi tersebut mengandung nilai vitalis, kemampuan menghidupi, namun menunjuk pada adanya harapan publik bahwa pemimpin semestinya memiliki Kapasitas yang juga tinggi. Jadi kedua variabel tersebut; jabatan dan kapasitas pribadi pemimpin linear atau simetris satu dengan lainnya.
Terlepas disadari atau tidaknya dimensi nilai vitalis Kursi kepemimpinan Kepala Daerah, melalui proses pemilihan telah banyak pribadi yang memutuskan memberanikan diri mengemban misi kepemimpinan Daerah. Segala pribadi dengan tipikalitas yang ditopang multi latarbelakang pendidikan, profesi, kultur,dll mendaftarkan diri untuk ditentukan oleh persetujuan publik pemilih.
Rekam jejak Kinerja Kepemimpinan Daerah
Prokontra latarbelakang pemimpin menjadi lahan subur kajian berbagai perspektif untuk mendukung, memagari ruang kebebasan keterpilihan asalan. Indonesia pernah dikepung dengan perdebatan unproduktif dikotomi latarbelakang pemimpin semisal; militer dan sipil, Pengusaha dan non pengusaha, profeisonal dan non profesional,dll. Bagaimana dengan fakta empiris kinerja kepemimpinan mereka?
Laporan yang dikeluarkan Departemen dalam Negeri menyatakan 33 Provensi di Indonesia tidak ada yang menunjukkan kinerja Sangat Tinggi, hanya 9 Kabupaten dan 2 kota yang memiliki kinerja sangat tinggi dari 524 Daerah yang ada (Kompas 17 Des,2009). Begitu juga jika kita telisik dari laporan angka penduduk miskin 2008-2009 tingkat penurunan penduduk miskin hanya ± 1% dari 15.4% turun 14.5% (lihat Jawa Pos 28/2009).Kedua data tersebut jika dianalisis dan dihubungkan dengan korelasi keragaman latarbelakang keseluruhan pemimpin sama sekali tidak menunjukkan adanya pembuktian bahwa seseorang yang memiliki latarbelakang tertentu memiliki peluang keberhasilan memajukan Daerah.Artinya persoalan latarbelakang tidak menjamin seorang pemimpin berhasil. Dengan kata lain seorang pengusaha tidak berpeluang lebih besar berhasil dalam memimpin suatu daerah dibandingkan profesi lainnya. Data diatas belum termasuk ratusan Kepala Daerah di Indonesia yang harus berhadapan dengan akuntabilitas hukum.
Fenomena Popularitas Semu
Sisi lain yang terasa mengganggu untuk dijelaskan adalah adanya keyakinan peserta Pilkada yang melandaskan pada “POPUPARITAS” sebagai kunci emas menangguk suara akar rumput/rakyat banyak. Asumsi ini dibangun dari eforia politik-administratif era desentralisasi dan Otonomi yang memberikan aksentuasi otoritatif kepada rakyat tanpa kuatir bahwa “rakyat” berkemampuan untuk memproblematisasi popularitas mereka dengan kapasitas kepemimpinan yang dimiliki.
Melenggangnya beberapa Artis yang disinyalir terpilih karena Popularitas yang tidak linear dengan bidang tugas atau bidang tanggungjawab, menjadikan Kursi nomer satu di Daerah sebagai permen manis untuk dilumat.
Kita memang belum memiliki hasil-hasil kajian teoritis akademik memadai yang dapat dipakai menjelaskan tingkat keberhasilan kepemimpinan dengan variabel Profesi , popularitas keartisan. Namun kita perlu menunjukkan ruang partisipatif demokratis bagi siapa saja yang benar-benar menyadari bahwa “keterampilan Laut” tentu akan bermasalah jika dipakai di “darat”. Maksudnya Kapasitas ke-Artisan sulit untuk dikorelasikan dengan kemampuan Memimpin. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya kapasitas Ganda para artis; satu pihak memiliki skill keartisan sekaligus Back-up skill kepemimpinan, organisasi,dll.
Tentunya Letupan usulan yang datang dari keprihatinan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menandaskan bahwa fenomena pencalonan beberapa kandidat Pimpinan Daerah oleh beberapa Artis yang marak didiskusikan perlu mendapat penguatan kontrol regulatif. Dimana Kontrol regulasi tersebut mampu menjaga bobot atau kapasitas pimpinan Daerah terpenuhi.
Hal ini juga terkait dengan Kosmetik Popularitas gelar akademik yang ditonjolkan untuk memberikan pencitraan intelektualitas sang Calon meskipun sebatas” kosmetik murah” Gelar yang diperoleh dengan sedikit tingkat pertarungan prilaku akademik; membaca, berpikir, menulis, berdiskusi.
Konteks kepopuleran semestinya tidak terkait label, kulit, termasuk frekwensi dilihat publik. PP No.6 Tahun 2005 Pasal 38 butir h menekankan aspek pengenalan daerah dan dikenal masyarakat Daerah, bukan sebatas kepemilikan KTP. Itu berati konteks popularitas tidak hanya terkait dikenal sebatas alamat, anak siapa, namun benar-benar dikenali oleh Masyarakat luar dalamnya, serta sang kandidat mengenal daerahnya dengan fasih/masif dan bukan mengatakan “tanyakan pada Rumput yang bergoyang” sebagaimana performance Juve dalam diskusi di TV One sebagai salah satu kandidat Kepala Daerah Pacitan.
Popularitas sesungguhnya mengandung dimensi dikenal, disukai (tentu tidak ada masyarakat suka dengan calon yang amoral, kriminal), dikagumi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mudah dipahami (kamus Bahasa Indonesia). Definisi ini jelas menolak konsep popularitas sekedar dikenali.
Dimensi Vitalitas Kepemimpinan Daerah
Vitalitas atau keberdayaan memberi kehidupan terhadap daerah merupakan hal penting yang harus menjadi tolok ukur pemilihan Kepala Daerah kita. Totok ukur tersebut dapat diidentifikasi melalui beberapa indikator seperti kemampuan atau penguasaan historis, geografis, demografis, budaya, teknis dan tentunya Knowledge Pemimpin.
Daerah sebagai basis atau pusat kegiatan ekonomi politik memiliki spektrum pengurusan, penataan dari internal organisasi Birokrasi, meluas masyarakat lokal, Nasional, Internasional (Global), karenanya mengharapkan kursi kepemimpinan Daerah diduduki oleh person yang memiliki kapasitas multi; apektif, psikomotorik, kognitif yang selaras dengan landasan nilai hidup dan Moral masyarakat.
Pertanyaannya, Punyakah Kandidat kita dimensi kapasitas strategis seperti dijelaskan diatas? Seluruh stakeholder Pilkada; Pemerintah, Partai politik, Pemilih, Yang dipilih harus menjawabnya. Hajat:maksud; keinginan; kehendak; kebutuhan/keperluan masyarakat merupakan tujuan dari kepemimpinan Daerah. Waspada Profesionalitas dan Popularitas semu.


Yogjakarta 20 April 2009

Tidak ada komentar: