Minggu, 27 Desember 2009

Kemerdekaan dan jalan salah arah pendidikan Indonesia?

Oleh: BL Padatu
Jawa pos dalam kolom jati diri meminta jawaban terhadap pertanyaan apakah negeri ini gagal mengenali seorang mbah Surip yang nota bene refresentasi mutiara Indonesia dalam berkesenian?(jawa pos 7/08/09). Pertanyaan semacam ini sejatinya mengarah pada bela rasa terhadap negeri ini yang dipadati oleh sumber daya manusia yang miskin daya.Belum lagi kalau kita bicara dengan menggugat limpahan anugerah alam yang dayanya mampu menghidupi masyarakat dunia.
Fenomena mbah Surip dengan jaya dipuncak usia menggugat sebuah pertanyaan ontologis apakah eksistensi berkesenian mbah Surip sesungguhnya baru saja matang? Baru mencapai puncak potensi kemanusiaannya secara komprehensif? Atau negeri ini yang baru memiliki kemampuan mengenalinya? Jika persoalannya tertuju pada kelemahan negeri ini dalam membaca potensi mbah Surip? Sesungguhnya apakah yang sedang dialami negeri ini ?
Mbah Surip, dalam hal ini, adalah manusia yang masih beruntung daripada dianggap tragis atau ironis. Ada banyak anak Negeri ini yang hingga ajalnya tidak mampu dideteksi potensi kediriannya. Bahkan dalalam berbagai kasus, Negeri orang lain yang memiliki pengindraan tajam tercatat lebih agresif dalam mengenali serta menikmati jati diri kekayaan potensi manusia Indonesia. Dapat disebut adanya semacam tim pencari bakat yang sejak dini mengadakan investigasi ke hampir seluruh sekolah terbaik di Indonesia untuk memetakan murid-murid berbakat dan dengan simpatik (jika tidak mau disebut berebut kesempatan) mengikat tawaran-tawaran yang sulit untuk dielak oleh murid-murid tersebut. Fenomena “Brain Drain” yang marak dibicarakan sebagai isu public, baik yang difasilitasi pihak luar maupun pihak dalam (termasuk inisiatif pribadi) juga menjadi cerita yang didasari oleh kegagalan sensor negri ini dalam mengenali “harta terpendam” manusia Indonesia. Dari para murid, tenaga kerja terdidik, bahkan kita cukup terkejut adanya beberapa SDM Indonesia yang diapresiasi oleh Universitas-universitas Negeri dan swasta ternama diluar negeri yang mempekerjakan orang-orang Indonesia sebagai tenaga edukatif.
Cerita lainnya tidak kalah menarik, ragam karya anak Negeri terkadang harus melintas batas wilayah negeri kita untuk mendapatkan hak paten serta pengakuan, pencitraan kemudian diimpor kembali menjadi sebuah trend karya baru yang laris manis dinegerinya sendiri. “Follower state” apakah julukan ini tidak membuat kita gerah?
“Universalitas belasungkawa kebudayaan”
SBY dalam satu kesempatan mengungkapkan ucapan bela sungkawa kepada Mbah surip sebagai apresiasi seorang Bapak Negeri yang telah membungkus kehidupannya dengan dedikasi berkesenian? Paling tidak kita sangat berharap ada pidato lanjutan dengan momentum yang sama dengan mengproklamirkan komitmen untuk berbela sungkawa terhadap segala bentuk berkesenian yang hilang dari negeri ini dan nyaris tidak dapat dikenali lagi oleh atau dinegerinya sendiri bahkan tidak memiliki kemampuan untuk menikmati Made in “kebudayaan Indonesia”.
Dekat dengan kenduri Nasional (17 Agustus) rancangan anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diaju usulkan kepada bangsa ini bahwa Pemerintahan akan menurunkan jumlah pengangguran. Mengapa harus menurunkan jumlah pengangguran? Bukankah lebih baik jika jumlah orang kaya ditingkatkan? Mungkin retorika diksi penurunan harus diganti dan diwacanakan secara powerfull dengan diksi “penambahan orang kaya”? tentunya negeri ini sangat responsive dan berkesesuaian dengan jati diri kemanusiaannya yang full memimpikan kesejahteraan hidup yang setaraf, adil dan berkesempatan dalam menikmati level kehidupan yang melimpah. Nantinya slogan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya SDM dan SDA nya mendapat penambahan negeri yang banyak orang kayanya.
Rekonstruksi falsapah?
Mungkinkah kondisi bangsa Indonesia yang masih sulit untuk bersatu menyanyikan INDONESIA RAYA, INDONESIA KAYA, INDONESIA JAYA dikondisikan oleh renung jiwa yang terlalu romantisme dalam memaknai KEMERDEKAAN sebagai lepas dari cengkraman Penjajahan kolonialis yang dari tahun-ketahun memeluk pemahaman demikian tanpa pernah mengenali rupa-rupa baru entitas penjajahan yang telah bermutasi atau bermetamorposis. Paling tidak pertanyaannya adalah apakah Indonesia telah merdeka dari penjajahan “Kemiskinan”, Penjajahan tengkulak dan ijon, Penjajahan Kebijakan Publik yang tidak Bijak? Penjajahan Konstruksi ekonomi Neoliberal? Terbebas dari penjajahan system yang gagal dalam melakukan uji kelayakan penempatan pejabat bidang yang vital? (wrong man in the vital place). Indonesia dalam hal ini Pemerintah berkuasa seyogyanya punya strategi baru dalam merupakan apa dan siapa penjajah negeri kita Tahun ini sehingga Lagu kemerdekaan dapat kita nyayikan dalam dua situasi renung. Satu sisi perenungan akan kejayaan dan kehebatan nenek moyang kita dalam meneguh daulatkan kesatuan bangsa kita dan sisi lain mengingatwaspadai bentuk-bentuk baru kolonialisme sebagaimana yang barusan saja dicanangkan terhadap Nurdin N. Top.
Problem salah arah Entitas Pendidikan
Mangun Wijaya dalam esai-esainya getol memperjuangkan semangat memerdekakan manusia Indonesia melalui tool pendidikan? Paling tidak ia telah memperjuangkan semangat memanusiakan Indonesia via entitas pendidikan segala jalur baik informal maupun formal. Tanpa menimbang kelebihan mutu entitas dua pendidikan tersebut sejatinya pendidikan yang benar adalah pendidikan yang mampu memproduksi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan menjadi ruh dalam kebudayaan hidup manusia Indonesia.
Dengan demikian Pendidikan sebagai Ruh dari upaya memerdekakan manusia sebagaimana kemanusiaan sejatinya harus murni dan selalu murni serta tetap murni seabadinya. Pendidikan dalam bentuk dan tujuan apapun harus memiliki kemampuan mengenali hakikat kediriannya, bagaimana semestinya ia bekerja dan mampu teruji aspek kemanfaatannya sebagai tool pemberdaya manusia Indonesia.
Persoalannya, eviden base (faktanya),pendidikan di Indonesia dalam kontek dan kontennya (materinya) lelah melakukan Mal-edukasi dengan rupa-rupa manuver yang berorientasi pada semangat rekapitalisasi institusi pendidikan; jual beli gelar telah menjadi trend, bahkan jika tidak mau dituding jual beli gelar mereka menyelenggarakan metode pendidikan miskin keringat berpikir. Sederhananya banyak jualan-jualan system tempuh pendidikan yang tidak memaksa Mahasiswanya melakukan kerja otak secara ekstrim, sehingga dapat diramal daya tahan opininya lemah, argumentasinya lemah dan deretan cerita-cerita tragisnya.Tidak kalah tragisnya aktivitas tim pengajarnya dengan kedok Tim riset memultiplikasi aktivitasnya memasuki ranah-ranah proyek, dampaknya dapat ditebak Mahasiswa terbengkalai, mindsetnya bergeser cukup jauh kepada mentalitas benefit. Bahkan increasing keilmuannya menjadi mandek dan teramat mudah untuk dilampau oleh Mahasiswanya sendiri dengan setengah upaya belajar.
Pada kasus lainnya, masih hangat dalam ingatan kita akan himbauan Pemerintah melalui Mentri Pendidikan yang menyaran pada teguran dan ancaman untuk menafikan ijazah lulusan setiap prodi (program studi) yang tidak terdaftar izinnya. Apakah geliat kemunculan-kemunculan program studi sebagai suatu respon terhadap dinamika turbulensi tuntutan pasar yang secara panik disikapi. Apakah fenomena rombak-bentuk Program studi sebagai sebuah penyikapan yang benar dalam menjawab rendahnya jualan kelulusan setiap lulusan mereka? Atau sekedar kesigapan antisipatif dari serangan competitor edukatif agar terkesan up to date?
Akhirnya, Manusia yang merdeka merupakan manusia produk entitas pendidikan yang pure dengan hakikatnya mencerdaskan, memberdayakan, penuh daya vitalitas bagi dirinya sendiri bahkan manusia pada umumnya. Manusia yang merdeka adalah manusia yang melalui jalur pendidikan (formal dan informal) mampu mengenali dan dikenali sejak dini sehingga dapat dinikmati dengan durasi jauh lebih panjang, tidak sebagaimana “elegi Mbah Surip” yang putaran kedasyatan berkeseniannya dinikmati se-ujung usianya.

Surabaya 7 Agustus 2009

Tidak ada komentar: