Minggu, 27 Desember 2009

Prilaku Politik: Century Gate, TKI?

Oleh: BL Padatu
Berapa Cost yang harus dibayarkan untuk menuntaskan prahara Bank Century? Menjawab pertanyaan tersebut tentu sulit untuk dikalkulasi disebabkan hitungan-hitungannya tidak saja terkait usaha mengkuantifikasi indikator materi (uang), namun indikator lainnya yang justru lebih besar dari indikator materi.Indikator non materi dimaksud berupa psikologi publik, ongkos publik (kemarahan dan ketidak percayaan publik) dengan ongkos politik (pertaruhan stabilitas kenegaraan, khususnya iklim nalar pembangunan Kesejahteraan).
Siapakah Pemenangnya?
Siapapun pemenangnya senantiasa ditegaskan “Kemenangan rakyat!” entah itu dalam arti sesungguhnya ataupun manifulatif (politik asimetris). Siapapun pemenangnya dari sisi tertentu telah terjadi multi deficit; ekonomi, hukum, politik, sosial, budaya,dll. Bisa saja argumentasi ini mendapat bantahan dengan klaim surpluss diujung kejelasan kasus “Century gate” dengan implikasi sistemik terhadap multi agenda reformasi di Indonesia. Semoga,dalam perspektif optimis, logika profit diharapkan jauh lebih dapat dijangkau atau diraih ketimbang logika “buntung/rugi”.Paling tidak rakyat berharap banyak dari finalisasi kasus century ini.
Ironi Century Gate dan TKI
Berapa Negara di rugikan oleh kasus Century? Berapa Negara di untungkan dengan produktivitas kerja Tenaga Kerja Indonesia yang dipaksa, terpaksa atau memaksakan diri berjuang bukan hanya bagi kepentingan pribadi dan keluarga namun meluas pada spektrum laba bagi negara.
Simak saja Kasus Century, menurut catatan yang terlansir selama ini, 6,7 Trilyun merupakan angka besaran raibnya pilar pendukung pembangunan kesejahteraan rakyat yang melalui “grand design”meleleh dan sedang dipetakan pencairannya melalui agenda politik DPR (mekanisme pansus dan hak angketnya).
Sisi pembanding, angka besaran profit yang dimunculkan kepada publik bagi pilar penguatan devisa negara melaui design pendapatan TKI yang dimasukkan (remitansi) tenaga-tenaga kerja Indonesia dari Luar Negeri (2008) yakni sebesar US$ 6 milyar (6,6 Trilyun). Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melansir data remitansi sebesar US$ 5,6 milyar 2006 (data yang tercatat di BI).Moh Jumhur Hidayat(ketua BNP2TKI pada waktu itu) memberi penekanan bahwa konstribusi devisa oleh TKI lebih besar 3 kali lipat dari nominal investasi negara-negara maju di Indonesia (data 2007).Hingga tahun 2008 keseluruhan devisa tecatat 130 Trilyun, dibawah devisa sektor migas 180 trilyun.
Tidakkah kita terkejut dengan data besaran angka kedua fenomena tersebut? (“Century Gate” dan TKI).Jika kita mengukurnya dari besaran trilyun(data 2008),keduanya menyumbang angka besaran sama, kecuali selisih 100 milyar lebih kecil dari 6,7 Trilyun yang dibukukan oleh Century. Persoalannya samakah mereka diperlakukan? Jawabannya difference exceedingly (amat, sangat berbeda)
Setidaknya, setiap tahunnya Tenaga kerja Indonesia kita merupakan dermawan-dermawati yang mengkonversikan aliran keringat, darah, dan nyawa untuk menghidupi Indonesia (Negaranya).Sebaliknya bagaimana kedermawanan Negara bagi mereka? Apa konversi balikan dari devisa yang dinikmati oleh negara? pada titik ini Tesis “Jangan tanyakan apa yang Negara bisa berikan kepadamu” menjadi tidak berlaku.Dalam konteks perlindungan kita harus mempertanyakan “Apa yang negara bisa lakukan atau beri bagi rakyatnya, bagi Tenaga Kerja Indonesia yang senantiasa menjalani kehidupan tidak ubahnya di medan perang?”
“Politic Behaviour”
Terhadap kedua kasus fenomenal tersebut bagaimanakah prilaku politikus kita di pentas parlementaria kita? Pertanyaan ini dapat lebih sharpness (ditajamkan), proporsionalkah prilaku politikus senayan kita terhadap keduanya? Pertanyaan ini sekaligus ditujukan kepada keterbukaan publik secara luas bagaimana bersikap terhadap tingkat keamaan, kenyamanan, kesejahteraan lahir batin Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Kita yang nyata-nyata terus menjadi cerita elegi, narasi duka tanpa keberdayaan kita dalam memproteksi “saudara-saudara” kita.
Bagaimana wakil-wakil rakyat kita berprilaku didepan kamera Publik konstituen? Kegesitan, kelincahan dan tajamnya serangan-serangan yang dikomunikasikan untuk memproblematisasikan berbagai aspek profit (“ekonomi politik”) terhadap kasus bank Century setidaknya dapat diperbandingkan dengan cara politikus kita bereaksi terhadap isu perlakuan Tenaga Kerja Indoensia?(DPR masa sebelumnya) Bisakah mereka seberani, segarang, setajam, setulus, sejujur, semendesak kasus bank Century dalam menanggapi persoalan “didepan pintu hati” kita menyangkut masa depan Tenaga Kerja Indonesia(sekarang)?
Jenis isu, profit durasi waktu, tentunya memunculkan suatu polarisasi tensi bagaimana sebuah isu diolah didapur senayan. Tingginya akselerasi tensi penanganan bank Centuri tentunya tidak dapat dilepaskan dari pembubuhan bumbu “kontestasi politik” (yang sedang dan akan terus berlangsung).Bagaimana dengan isu Tenaga Kerja Indoensia? Bumbu apakah yang mumpuni mendrive kegesitan politikus-politikus kira menggarap proyek kemanusiaan berlabel TKI?
Sampai hari ini, publik belum pernah menonton sajian perlawanan politikus terhadap isu Tenaga Kerja Indonesia yang diperlakukan (dalam banyak kasus) miskin penghormatan hak-hak asasi berkemanusiaan.Publik hari ini teramat puas dalam kepiluan menonton “pulangnya” Tenaga Kerja Indonesia sebagai “Jenazah.”
Paling tidak tantangan yang tidak kalah menarik adalah mengelola agresivitas Publik berhadapan dengan prilau politik (kerja sama media) mempertontonkan(menunjukkan), bukan hanya pada publik Nasional namun publik Internasional ,bagaimana “kemarahan politik” Negara Indonesia terhadap perlakuan kepada rakyatnya yang diperlakukan berbeda selayaknya manusia.Terhadap segala bentuk ketidak utuhan potret manusia Indonesia yang di tindas lahir batin.Segala bentuk parut luka, kecacatan fisik dan psikologis. Kini, wakil-wakil rakyat(politikus), yang sedang memegang amanah wajib “marah”, harus “antusias” menantang “kamera publik” untuk mengelola isu dehumanisasi pada Tenaga Kerja kita.

Apa bentuk dukungan Real bangsa Indonesia?
Kalau Prita mendapat format pembelaan dengan “Coin kepedulian?” apakah bentuk pembelaan kita terhadap saudara-saudara kita dengan “album derita mereka?” Lembaga-lembaga Non profit manakah yang masih kencang menarik otot perlawanannya terkait isu Tenaga Kerja Indoensia? Kurang darahkah mereka?Serakkah suara mereka diganjal fakta minusnya profit yang ditangguk dari saringan jubah “non profit”?
Pastinya dukungan doa semata adalah separuh cukup, perlengkapan lain mesti didesign secara kreatif, sekreatif format gagasan dukungan “facebooker” bagi Bibit dan Chandra, serta “Coin bagi prita”.Untuk Tenaga kerja Indonesia kita format pembelaan kita apa? Sebuah tantangan lanjutan bagi semaraknya pesta demokrasi di Indonesia? Pestanya Keadilan Rakyat! Arahkan teropong kemanusia kita pada saudara-saudara kita dan sesegera mungkin mendesign rancang bangun format bela kemanusian kita. Ini Pekerjaan Rumah bagi kita semua, khususnya kreator-kreator perjuangan kemanusiaan yang sedang menunggang kuda “Momentum” pembesaran kuasa dan hak keadilan bagi Rakyat.


Surabaya 18 Desember 2009

Tidak ada komentar: