Minggu, 27 Desember 2009

Teka-teki Koalisi baru pasca Pilpres 2009

Oleh: BL Padatu
Setengah perjalanan berdemokrasi dengan momentum suksesi kepemimpinan telah dilalui oleh bangsa Indonesia. Kontestasi kepemimpinan Indonesia berhasil diwujudkan baik pada level kepemimpinan legeslatif maupun eksekutif walaupun Indonesia masih menunggu terminasi legalitas yang tak kunjung surut diuji tentangkan dengan memberdayakan perlawananan-perlawanan tafsir yuridis melalui daulat lembaga-lembaga konstitusi Negara seperti Mahkamah konstitusi, Mahkamah Agung.
Ditengah hiruk pikuknya perebutan simpati hukum atas kasus tafsir pengabaian hak masing-masing pihak (partai-partai), wacana konstruk koalisi bersatu untuk pengisian jabatan-jabatan strategis dalam kabinet pemerintahan terpilih menjadi babak lanjutan yang tidak kalah serunya. Keramaian bargaining position (posisi tawar) dalam kabinet pemerintahan menjadi jualan support system dalam perhadapannya dengan kesiapan pemberian dukungan di parlemen dalam multi kebijakan yang akan diformulasikan pemerintah berkuasa.
PDIP dan Golkar merupakan dua kekuatan besar yang sedang disibukkan dengan membangun rasionalitas kepartaian yang diharapkan mampu mengambil posisi secara cepat sekaligus tepat untuk memediasi kepentingan partai maupun kepentingan kebangsaan. Menentukan pilihan beroposisi ataukah merapat satukan diri dengan pemerintah terpilih merupakan agenda kemendesakan yang dilematis bukan saja karena senantiasa dihadap-hadapkan dengan budaya kepartaian, tradisi manuver-manuver berpolitik, hingga pertimbangan-pertimbangan pragmatis rasionalis yang didalamnya terkandung kalkulasi logis ke-efektivan membangun oposisi dari luar atau ber-posisi di dalam struktur pemerintahan.
Di samping dilema-dilema internal budaya kepartaian masing-masing, tentu kerumitan menentukan sikap berpolitik menjadi semakin runyam manakala arus panah konflik dipetakan oleh multi partai yang jauh-jauh hari telah lebih dahulu mengikrarkan kesetiaan perjuangannya bersama partai pemenang. Chemestry koalisi multi partai sebelumnya tentunya akan bereaksi secara hebat.Hal ini dikarenakan semakin menyempitnya ruang kebebasan manuver partai-partai yang ada sebelumnya. Begitu juga untuk porsi pembagian kue jabatan hingga secara fundamen dinamika perbedaan ideologi yang cenderung sulit untuk dicarikan persandingan. Dalam perspektif lainnya, khususnya dalam konstruk teori adaptasi diketengahkan bahwa sebuah entitas baru akan menghadapi tingkatan resistensi yang tinggi pada saat memasuki sebuah lingkungan baru. Paling tidak akan membutuhkan waktu penyesuaian. Dalam konteks berpolitik waktu penyesuaian tidak sertamerta terselesaikan dengan kesepakatan teknis semata-mata. Politik sangatlah dinamis, sedinamis anutan ideology partai dan kepemilikan nilai-nilai individu representasi partai.
Bagi partai-partai besar seperti PDIP dan Golkar untuk saat-saat ini cukup sulit untuk menentukan sikap beroposisi. Hal ini lebih disebabkan bahwa SBY melalui pidato kenegaraannya telah memaparkan agenda pro rakyat yang termaktub dalam rancangan APBN 2010 dimana garis perjuangan flatform masing-masing parta PDIP dan Golkar telah mendapatkan tempat dalam rancangan APBN tersebut, sehingga akan jauh lebih efektif jika partai-partai tersebut berada bersama bukan berhadap-hadapan. Paling tidak untuk melakukan suatu tindakan oposisi dibutuhkan sebuah awalan atmosfir yang kondusif untuk beroposisi, sementara langkah awal SBY dianggap tanggap pada agenda kerakyatan. Dengan kata lain sinyal-sinyal beroposisi sangat lemah. Lain soalnya dalam rentang proses kedepan perjalanan pemerintahan nantinya.
SBY sendiri telah mencitrakan psikologi perpolitikan yang teramat sulit untuk ditebak. Keputusan-keputusan yang diambil senantiasa melenceng dari anggapan-anggapan publik. Ia telah membawa dirinya memasuki gelanggang perpolitikan sebagai aktor, penulis skenario sekaligus sutradara bagi dirinya sendiri dengan tingkat kemandirian yang sangat tinggi. Meskipun demikian tidak berarti kita tidak dapat meraba kecenderungan sikap politiknya. Beberapa kasus yang telah dilaluinya telah membuktikan bahwa dirinya adalah pribadi yang dapat memandang rival-rival politiknya sebagai Kawan secara baru.Ia mampu memaklumi serta mengkalkulasi prospek kepentingan jangka panjang bagi bangsa diatas kepentingan pribadi dan kelompok partainya. Dengan kecenderungan ini tentulah SBY akan welcome terhadap koalisi-koalisi baru.
Bagi patner-patner koalisi sebelumnya SBY cukup mumpuni untuk membesarkan hati serta memberi perspektif baru bagi perjuangan ke-Indonesiaan ketika harus mengejutkan mereka dengan memilih Boediono sebagai wakil non partai untuk jabatan strategis yang diprediksi tidak keluar dari lingkar rekan-rekan koalisi. Tentunya partai-partai koalisi sudah memetik pembelajaran bahwa sosok SBY perlu dibaca secara baru dalam mengajukan penawaran-penawaran politik. Mereka sangat menyadari bahwa konstituen Indonesia secara umum merupakan support system terbesar yang tidak dapat dilawan dengan cara mengambil posisi sebagai koalisi penekan.
Diatas semua kecenderungan-kecenderungan tersebut, sekali lagi harus kita ingat SBY adalah politikus dinamis, memiliki keberanian manuver hingga level ekstrim-kalkulatif sehingga akan semakin menarik untuk menantikan sikap politik SBY dalam mengakomudir berbagai kekuatan bangsa yang mengejawantal dalam kekuatan partai-partai politik.

Surabaya 4 Agustus 2009

Tidak ada komentar: