Kamis, 17 Juni 2010

Artefak Demokrasi dalam Pilkada



BL Padatu
Winston Churchill jauh-jauh hari telah mentesiskan bahwa demokrasi bukanlah sistem terbaik , sayangnya belum ada pilihan terbaik lainnya untuk menggantikannya. Seutuhnya ia mengatakan,” it has been said that democracy is the worst form of government excep all the others that have been tried.” Paling tidak Indonesia sepakat untuk menggunakan.
Satu dasa warsa lebih telah dijalani, apa yang dapat dipetik dalam pelaksanaan Pilkada dalam sistem demokrasi yang kita anut? Secara konseptual Demokrasi yang dibangun pasca reformasi 1998 adalah berdaulatnya rakyat dalam pemerintahan yang ditandai dengan keterlibatan langsung (direct partisipation) dalam ruang kebebasan. Demokrasi yang oleh Pericles (finley,1973) direntang definisikan,”mendiskusikan dengan sebaik-baiknya tanpa kekangan dan dan dengan hak isegori yakni kesamaan hak untuk berpendapat dalam majelis berdaulat tinggi (sovereign assembly)
Kekuatan demokrasi sesungguhnya terletak pada kekuatan verbal dialogis, hak bersuara, hak menyatakan kebutuhan, hak wacana. Demokrasi merupakan kran penyalur pemahaman yang tidak resisten pada realitas perbedaan dalam interaksi politik (Farrar,1992) diluar batasan tersebut demokrasi tidak dimaksudkan.
Konflik Pilkada
Ruang kebebasan sebagai sebuah anugerah atau kebaikan sistem demokrasi sepertinya terbaca lebih mendatangkan kutuk (curse) ketimbang berkah (blessing). Sulit untuk tidak berkata bahwa hampir keseluruhan proses penyelenggaraan Pilkada dibumbui oleh konflik horisontal (sesama pendukung) dan vertikal (terhadap penyelenggara). Dua peristiwa terkini; Insiden pilkada Mojekerto(21/5), Anarki Pilkada Toli-toli (kompas 2/6) memiliki kemiripan polarisasi konfliknya; demo, mobilisasi massa, pembakaran, pengrusakan infrastruktur, ancaman fisik, teror psikis.
Di titik ini demokrasi pilkada kehilangan kekuatan untuk tetap berpijak dan hidup dari spirit primer landasan konseptualnya yakni “demokrasi bicara”. Demokrasi pilkada tersebut telah melahirkan varian variable demokrasi “demokrasi ancam, demokrasi tendang, demokrasi bakar, demokrasi paksa, demokrasi teror, dll” Sulit untuk percaya bahwa demokrasi pilkada yang keruh ini terus bergayung sambut seolah tiada hilir. Gugatannya dimana letaknya “diskusi sebaik-baiknya” sebagaimana dikatakan Pericles?
Pemimpin produk Pilkada
Berapa jumlah pemimpin yang dihasilkan oleh proses demokrasi pilkada di Indonesia? Tentu jawabnya linear dengan jumlah adanya Pemerintahan Daerah administratif pada Pusat dan daerah (propinsi,kabupaten/kota). Bagaimana dengan Kinerja Kepemimpinan mereka? Laporan yang dikeluarkan Departemen dalam Negeri menyatakan 33 Provensi di Indonesia tidak ada yang menunjukkan kinerja Sangat Tinggi, hanya 9 Kabupaten dan 2 kota yang memiliki kinerja sangat tinggi dari 524 Daerah yang ada (Kompas 17 Des,2009). Begitu juga jika kita telisik dari laporan angka penduduk miskin 2008-2009 tingkat penurunan penduduk miskin hanya ± 1% dari 15.4% turun 14.5% (lihat Jawa Pos 28/2009). Dengan demikian jejak kinerja yang ditinggalkan oleh para pemimpin yang dihasilkan dalam proses demokrasi pilkada harus menjadi catatan krusial untuk diperhatikan. Terlebih jika harus diperhadapkan dengan fakta banyaknya pemimpin-pemimpin daerah yang harus berurusan dengan peradilan korupsi.
Menggeser kembali fokus
Dinamika masalah yang bertabur disepanjang koridor demokrasi pilkada di Negara kita sepatutnya menjadi titik lihat bersama dan ditaruh dalam daftar agenda mendesak untuk diselesaikan. Demokrasi pilkada kita telah mengalami “defisit” Harga beli demokrasi pilkada sejauh ini sulit untuk dihitung kalkulasi untungnya. Ruginya banyak, belum lagi kerugian terhadap terbangunnya mekanisme kebiasaan/prilaku kasar, merusak, yang berujung pada dehumanisasi.
Rakyat(peserta) pilkada tidak dapat dilihat lagi sebagai “Rakyat yang berdaulat” dengan martabatnya sebagai yang benar-benar rakyat. Rakyat dalam konteks demokrasi pilkada telah mewujud menjadi “Rakyat gerombolan” dimana kehadirannya sudah tidak untuk yang lain (being-for-other).
Demokrasi pilkada di mana didalamnya terjadi chaos telah membelah rakyat kedalam pembagian yang kehilangan sensitivitas nilai cinta akan kebersamaan dan hubungan yang sesungguhnya mutlak mengikat manusia dalam peristiwa kehidupan (Jean Paul Sartre1905-1980).
Jika demikian kita perlu menggeser fokus kita tidak hanya melihat apa yang sudah berlangsung di kekinian, sepatutnya kita memandang akan adanya “Struggles of hope” kedepan dengan demokrasi pilkada kita. Kita mesti berjuang dengan multi aksi dengan dilandasi semangat menangguk keuntungan berkelanjutan pasca demokrasi pilkada dan bukan keuntungan periodik yang nilai pencapaiannya belum jelas(bahaya laten korupsi).
Darimana pergeseran fokus harus dimulai? Tentu redefinisi visi demokrasi pilkada patut dikerjakan. Demokrasi pilkada kita yang sekarang ini lebih merupakan “demokrasi konsep” ketimbang “demokrasi praksis”. Tingkat pendefinisikan ulang visi demokrasi pilkada dibidikan pada kemampuan memprediksi apa yang akan terjadi ke depan dengan strategi penataan prilaku dan kerja sekarang dalam demokrasi pilkada. Jika hal ini dikerjakan dengan telaten tentu apa yang dikatakan suryopratomo (2007) dalam catatan sekapur sirih visi Indoensia 2030 menjadi penting untuk ditimbang yakni,”Mereka yang mampu memprediksi apa yang terjadi di depan, dan merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan ke depan, akan memetik manfaat paling maksimal.” Andai demokrasi pilkada tersus berlangsung seperti sekarang sulit untuk memperoleh apa yang disebut kebutuhan dasar manusia terpenuhi, yaitu kebutuhan partisipatif, kebutuhan beristirahat, kebutuhan rekreasi, kebutuhan identitas dan kebutuhan akan kebebasan (Manfred Max-Neef,1987). Akhirnya kita butuh menghasilkan kehidupan yang bukan saja sejahtera secara ekonomi namun sejahtera secara sosial dan politik. Inilah yang kita sebut-sebut sebagai artefak(hasil) demokrasi pilkada yang dinantikan.

Tidak ada komentar: