Jumat, 04 Juni 2010

Harga Sebuah Kepemimpinan?

BL Padatu
Mojokerto rusuh saat visi dan misi stategis ke tiga kandidat Bupati dan wakilnya dipaparkan. Paling tidak insiden ini menyumbangkan satu persoalan yang krusial untuk dipikirkan serta mendapat tempat perumusan dalam visi dan misi kepemimpinan daerah kedepan. Pemimpin baru, siapapun mereka memiliki tugas membangun karakter masyarakat yang damai, memiliki kesadaran memelihara atau menjaga aset daerah.
Kurang lebih 17 Mobil/kendaraan dari 25 kendaraan yang parkir dinyatakan rusak berat,belum termasuk jenis kerugian lain. Berapa kerugian yang ditimbulkan oleh amuk massa ini? Harga kalkulatif dari segi materi tentu dapat ditafsir nominalnya. Misalkan jika harga sebuah mobil jenis kijang Inova terbaru seri 1.3 E M/T kurang lebih Rp.133.600.000 (ini seri termurah) itu berarti dikalikan 17 unit setara dengan Rp.2.271.200.000 belum ditambahkan dengan biaya kerusakan total mobil lainnya, bangunan,pagar, biaya perobatan,dll. Bagaimana dengan kerugian non material? Tentu jauh lebih besar.
Menimbang harga sebuah kepemimpinan dapat dianalisis dalam rentang waktu before dan after. Semua yang timbuk akibat suksesi kepemimpinan Pilkada memiliki nilai atau harga yang signifikan. Harga yang berkorelasi langsung dengan tujuan kepemimpinan itu sendiri.
Seorang pemimpin yang mendeklarasikan dirinya berkompetisi sebagai kandidat/peserta pilkada pada dirinya senantiasa dibekali dengan kesiapan daya dukung finansial selain syarat-syarat lain. Dalam konteks kebutuhan before, seorang kandidat Pilkada wajib menyediakan sejumlah uang untuk belanja logistik kampanye, biaya tim profesional Tim pemenangan, ikln politik, dll yang total anggarannya mencapai pembilang milyar.
After atau sesudah memenangkan pemilihan, seorang pemimpin diperhadapkan dengan nilai taruhan yang sangat besar, melampaui jumlah pengelolaan besararan APBD daerah masing-masing. Secara empiris dapat diasumsikan seorang pemimpin akan memenuhi tanggungjawab pengembalian dana pemenangan. Tanggungjawab ini disertai oleh “Bunga Investasi Modal Pemenangan” yang besarnya tentu menyentuh rasio “Multiplikasi” atau penggandaan (kelipatan).
Kita asumsikan saja besaran APBD Kabupaten Mojokerto 2010 sebesar 328 Milyar. Belanja Kepegawaian teranggarkan “Rp 240 Milyar” (Surabaya pos/22 Des/2009). Itu berarti sisa anggaran sebesar 88 Milyar. Berapa jumlah anggaran yang dialokasi untuk diberikan kepada investor politik? Dan tentunya anggaran pelayanan publik? Andaikata seorang calon pemimpin menggunakan besaran 5-10 milyar dana kampanyenya, bisa dibayangkan nilai multiplikasinya. Jika menggunakan kelipatan 3 dari asumsi 5 milyar investasi politik itu berarti seorang kepala daerah terpilih wajib mengalokasikan modal 5 milyar ditambah 3x5 milyar yakni 15 milyar. Total dengan modal awal 20 milyar. Dengan sisa anggara 88 milyar dikurangi 20 milyar maka sisa dana yang akan dikelola sebagai belanja pelayanan publik adalah sebesar 68 milyar.
Dengan jumlah penduduk Mojekerto yang tersebar di 18 kecamatan yakni 1.073.027 (Januari 2010/bagian perekonomian Kab. Mojokerto) itu berarti jika sisa anggara didistribusikan menggunakan asumsi jumlah kecamatan, dengan demikian masing masing kecamatan terjatah kurang lebihRp. 3.7 milyar. Kalau asumsi distribusi anggarannya menggunakan perkapita/perpenduduk,itu berarti setiap penduduk terjatahkan anggaran sebesar Rp.63.000,372 . Pertahun anggaran (APBD) setiap penduduk Mojokerto hanya diback-up dana layanan publik Rp. 63.000. untuk semua jenis layanan publik yang dapat dinikmati (pendidikan, kesehatan, infrastuktur). Dapatkah besaran daya dukung dana layanan publik ini dapat meningkatkan indek pembangunan Manusia di Mojokerto? Perlu dicatat besaran sisa anggaran tersebut belum dikonvesasikan buat menggantikan seluruh kerugian yang ditimbulkan dengan Insiden pilkada Mojokerto baru-baru ini. Termasuk anggaran pilkada itu sendiri sebesar 22,5 milyar. Tentu jika dihitungkan dengan biaya pilkada ini porsi anggaran bagi rakyat jauh dibawa standar keberdayaan.
Dalam konstruk konsep PPF (Product possibility frontier) diasumsikan bahwa dalam batasan sumber daya terbatas penambahan satu jenis produk hanya dimungkinkan dengan mengurangi atau mengorbankan produk lainnya. Jika digunakan dalam menjelaskan keterbatasan anggaran publik, masuknya mata anggaran baru (untuk kepentingan investor politik atau penggantian kerusakan/kerugian materil dalam insiden Mojokerto) akan dengan sendirinya mengurangi pos anggaran lainnya bahkan menghilangkan proyek-proyek yang sudah ada terlebih dahulu. Dengan demikian setiap bentuk kerugian yang telah ditimbulkan oleh amuk massa Pilkada akan kembali atau terpulang pada pembebanan mata anggaran baru.
Dengan konstruksi persepsi ilustratif terhadap kontestasi kepemimpinan, terlebih kepemimpinan anggaran diatas, tergambarkan betapa nilai taruhan kepemimpinan setiap pilkada berada pada pertaruhan yang sangat mahal harganya. Mahal buka saja menyangkut ongkos penggangkatan seorang pemimpin, namun sangat mahal dalam ke-efektifan dan ke-efisienan bahkan keadilan pengelolaan dana yang sudah terdistribusikan berdasarkan pertimbangan anggaran yang sangat minimais bagi rakyat banyak. Mahal bukan saja ketersediaan dana terbatas namun kecerdasan dalam menskala prioritas pembiayan layanan publik.
Siapapun yang terpilih dalam pemilu tersebut kiranya para pemimpin menyadari betapa rakyat hanya memiliki beberapa rupiah dana anggaran untuk banyak jenis layanan publik yang tentunya mutunya perlu dievaluasi. Semoga hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua daerah di Indonesia.

Tidak ada komentar: