Minggu, 20 Juni 2010

Isu Strategis Kaderisasi kepemimpinan


Oleh BL Padatu

Kebutuhan atau kehadiran sosok pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan sebuah agenda mendesak dan dapat dikatakan hingga pada level krisis dan kritis yang tidak dapat diabaikan atau dikesampingkan. Kehadiran seorang pemimpin dinilai menjadi penanda pasti yang dapat mengkalkulasi secara dini tingkat prospeksi keberhasilan capaian misi dan visi organisasi. Melalui peran strategis kerja pemimpin sebuah organisasi dapat mengabstraksikan atau mengaplikasikan agenda kerjanya dengan jauh lebih terstruktur, dinamis, terarah dan dapat diukur atau diprediksi tingkat keberhasilan capaiannya dibandingkan dengan ketidakhadiran seorang pemimpin. Sayangnya keberadaan seorang pemimpin sejati atau sesungguhnya merupakan fenomena yang langka. Berbagai organisasi baik disektor private, terlebih khusus di organisasi publik didera sebuah fenomena krisis ketersediaan sosok pemimpin. Sebut saja misalkan dalam konteks suksesi kepemimpinan tingkat Nasional, Indonesia memasuki babakan wacana akan krisis kader-kader kepemimpinan yang dianggap sosok strategis yang ekspektasikan mendrive berbagai perubahan-perubahan signifikan bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Belakangan ini fenomena Artis berburu posisi kepemimpinan (belakangan dikuti oleh profesi-profesi lainnya tanpa mempedulikan kompetensi yang dimiliki) disinyalemenkan sebagai penanda pasti sekaligus kegagapan masyarakat atau keputusasaan, bahkan dapat dikatakan kebingungan masyarakat (jika tidak dikatakan ketidak tahuan masyarakat) siapa sesungguhnya pemimpin itu. Lompatan-lompatan politik para artis (dan beberapa bidang-bidang lainnya) dianggap beberapa kelompok masyarakat sebagai wujud betapa Indonesia yang kita cintai mengalami kursi kosong pemimpin yang dipaksakan dapat diisikan oleh siapa saja yang dapat merebut simpati masyarakat tanpa harus diperhadapkan pada suatu tuntutan pemahaman eksistensi pemimpin.
Apabila dicoba untuk diruntut atau distruktur kembali fenomena krisis kepemimpinan, maka dapat dimunculkan beberapa tesis sederhana berkenaan dengan faktor-faktor kausalitasnya mengapa Indonesia atau setiap organisasi dilanda krisis kehadiran seorang pemimpin. Salah seorang pengamat kepemimpinan mensinyalir bahwa problem kepemimpinan berakar pada hilangnya visi pembangunan bangsa dan Negara. Ia mengatakan bahwa :
“Persoalan terbesar Indonesia saat ini bukan masalah mentalitas dan moralitas pejabat, pemimpin politik, anggota DPR, pengusaha dan masyarakat.Juga bukan menyangkut korupsi atau buruknya masalah hokum. Persoalan terbesar sekarang lebih mendasar daripada hal-hal disebutkan diatas, yang semuanya cenderung merupakan derivasi (turunan) daripada satu hal yang sangat fundamental, yakni:arah dan masa depan bangsa ini sendiri. Where do we really want to go?” (Tobing,2006. dalam Erwan Purwanto,2006).
Terhadap argumentasi diatas, Erwan Agus Purwanto,2006, mengatakan bahwa sinyalemen tersebut menunjukkan secara gamblang bahwa saat ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan pada birokrasi publik kita.Hal ini berkaitan dengan peran pemimpin sebagai driver masa depan sebuah organisasi, seorang visioner. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa ada krisis kepemimpinan pada birokrasi publik kita? Bukankah di Indonesia ada puluhan menteri, ratusan dirjen, dan ribuan pejabat eselon satu sampai empat yang boleh dikategorikan sebagai pemimpin karena mereka menduduki jabatan struktural? Pertanyaan seperti ini menurutnya wajar dan tidak salah.Persoalannya adalah apakah para pejabat eselon tersebut telah menyadari dirinya sebenarnya sebagai seorang pemimpin ataukah mereka hanya mendudukkan dirinya sebagai manajer.
Pada kasus yang lain, secara Lebih panjang lebar dijelaskan bahwa krisis kepemimpinan dapat juga disebabkan mandeknya atau terputusnya kaderisasi kepemimpinan didalam setiap organisasi bersangkutan. Organisasi baik secara sadar atau tidak mematikan kran-kran kaderisasi kepemimpinan yang seharusnya menjadi perhatian berkesinambungan. Dari ketidak tahuan bagaimana menstruktur atau mengarsiteki kelahiran seorang pemimpin, keengganan karena berkaitan dengan cost yang tinggi, juga berkaitan pada tindakan politisasi sempit untuk menghindarkan diri dari kehadiran pemimpin baru yang mengancam posisi pemimpin sebelumnya, hingga pada tidak adanya figur-figur yang secara etik-moral-profesional yang menjadi figur-figur “benchmarking” akan sosok ideal pemimpin.
Kaderisasi kepemimpinan merupakan isu penting dalam organisasi publik, atau organisasi manapun. Kaderisasi merupakan suatu proses untuk menghadirkan atau menyiapkan regenerasi kepemimpinan yang siap untuk mengambil alih atau menindaklanjuti kerja kepemimpinan. Kaderisasi kepemimpinan merupakan suatu proses transfer seperangkat kecakapan kepemimpinan terdahulu kepada penerusnya hingga mencapai level keberfungsian yang sama bahkan dapat cenderung melebihi pemimpin pendahulu.
Dalam alur kaderisasi kepemimpinan dikenal dua jalur, yakni jalur formal dan jalur informal. Jalur formal umumnya melalui proses pendidikan terencana, penstrukturalan jenjang karir kepemimpinan yang sistmatis,dll. Sedangkan Jalur informal(internal) merupakan jalur yang tidak melalui proses-proses sebagaimana jalur formal (jalur ini masih belum banyak mendapat perhatian serius). Umumnya jalur informal bergerak dari kesadaran bawahan untuk menstruktur kecakapan kepemimpinan secara mandiri, terlepas dari usaha-usaha sistematis yang dilakukan organisasi ataupun seorang atasan kepada bawahan secara pribadi.
Kaderisasi via jalur informal menuntut adanya sebuah figure atau pribadi yang memiliki kekuatan karakter atau citra diri yang sangat kuat. Kekuatan karakter atau citra diri sangat dipersyaratkan agar seorang bawahan dapat terinspirasi,termotivasi, berkomitmen, berinisiatif dan berkeyakinan untuk melakukan struktur pembelajaran diri secara mandiri menginternalisasi nilai-nilai dasar kepemimpinan dalam dirinya. Sepanjang ketersedian figure-figur demikian tidak tersedia maka kaderisasi informal (internal) kepemimpinan sulit bahkan tidak terjadi.
Kaderisasi kepemimpinan jalur informal (internal) membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki seperangkat tingkat kecakapan atau keahlian yang dapat dianggap sebagai “value added” (nilai tambah) atau keunggulan plus yang dapat memperkuat peran kepemimpinannya. Seorang pemimpin diharapkan memiliki basic atau dasar pengetahuan yang komprehensif berkenaan dengan peran dan struktur kepemimpinan dalam mendrive organisasinya hingga ketingkat dimana pengetahuan komprehensifnya menjadi unsur kekuasaan yang dapat mengikat penerimaan bawahan pada tingkat ketaatan, kepatuhan, respek pada sang pemimpin. Begitu juga terhadap nilai-nilai lain diluar kepemimilikan pengetahuan kepemimpinan, yakni kepemilikan sikap yang baik sebagai sebuah variable kepemimpinan yang juga sangat memberi pengaruh terhadap tingkat penerimaan bawahan, apalagi sebagai anasir pembentuk kesediaan menjadi figure yang dapat diteladani atau dijadijakan pembelajaran kepemimpinan.

Tidak ada komentar: